Ahad, 5 April 2015

MENELUSURI JEJAK KEDATANGAN ALKITAB DI PULAU KISAR



MENELUSURI JEJAK KEDATANGAN ALKITAB
DI PULAU KISAR


P e n u l i s       : Pdt. Musa Haisoo, STh. (Gembala Sidang GBI Tulungagung)
E d i t o r         : Seigrits A. N. Ratusehaka,S.Sos ([1]Wartawan Koran Bogor Com)

PENDAHULUAN
Jejak kedatangan Alkitab di pulau Kisar tidak dapat dilepaskan dari sebuah cerita rakyat (“legenda”) dari masyarakat Oirata. Konon, di zaman VOC, sebuah kapal VOC merapat di pantai Kiasar, dan itulah kedatangan pertama orang Belanda di pulau ini. Pantai Kiasar merupakan bagian dari wilayah petuanan Desa Oirata, sebuah pantai kecil yang terletak di pesisir selatan pulau Kisar. Menurut cerita, nama “Kisar” untuk pulau ini berasal dari nama “Kiasar” tersebut. Penamaan ini dilakukan oleh orang Belanda. Sedangkan nama asli dari pulau ini adalah Yotowa (dalam bahasa Oirata) atau Yotowawa (dalam bahasa Meher).
Kedatangan kapal VOC itu disambut oleh dua orang tokoh masyarakat Oirata, yakni Horsair dan Mutasair. Konon, ketika Horsair dan Mutasair ini naik ke kapal VOC, kapal tersebut tiba-tiba saja menjadi miring dan nyaris tenggelam. Hal ini disebabkan karena kesaktian yang dimiliki oleh kedua tokoh masyarakat itu.
Selanjutnya VOC memberikan dua pasang rotan, dua pasang bendera dan sebuah Alkitab, sebagai hadiah. Oleh “Dewan Adat” Oirata, rotan dan bendera tersebut ditetapkan sebagai symbol pemerintahan Desa Manheri (Oirata Timur) dan Mauhara (Oirata Barat). Sedangkan Alkitab dipendam (dikuburkan) di negeri lama Manheri.
Penelusuran jejak kedatangan Alkitab di pulau Kisar menjadi penting pada hari-hari belakangan ini, terutama bagi masyarakat Oirata di pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya. Hal ini disebabkan oleh kehadiran sebuah Team Doa dari Jakarta pada pertengahan bulan September 2010, yang menyebar informasi bahwa Alkitab yang dibawa ke pulau Kisar tersebut merupakan naskah asli Alkitab.
Sempat terjadi polemik di Oirata, sebab team ini mendorong dilakukannya penggalian situs tempat penguburan Alkitab tersebut. Menurut mereka Alkitab itu harus diangkat, sebab gara-gara penguburan Alkitab di Kisar itulah maka dunia, terutama Indonesia, tidak diberkati oleh Tuhan. Upaya penggalian ini ditentang oleh sebagian masyarakat Oirata, terutama oleh keluarga-keluarga atau matarumah- matarumah yang memiliki hak dan kewajiban untuk memelihara warisan budaya leluhur Oirata yang tersimpan di negeri lama Manheri.
Tulisan ini dimaksudkan untuk meluruskan pemahaman masyarakat seputar Alkitab yang dikuburkan itu apakah benar naskah asli Alkitab. Bukan membahas kebenaran cerita soal penguburan Alkitab itu sendiri.

MENGANAI NASKAH ASLI ALKITAB
Apa yang disebutkan sebagai naskah asli Alkitab sudah tidak ada lagi, sebab sudah hilang atau rusak termakan usia. Ini sangatlah wajar, sebab naskah-naskah tersebut berupa manuskrip-manuskrip (tulisan tangan manusia) di atas lembaran-lembaran papyrus (lembaran-lembaran yang terbuat dari batang / daun gelagah).
Naskah yang ada ialah salinan-salinan (populer dengan sebutan naskah-naskah kuno), yang juga ditulis di atas lembar-lembar papyrus. Media tulis yang paling modern adalah menggunakan perkamen (lembaran yang terbuat dari kulit binatang). Salinan-salinan tersebut dikerjakan oleh para ahli kitab secara turun temurun, selama berabad-abad (dalam kurun waktu ± 1400 tahun lamanya). Kemudian naskah-naskah kuno itu disimpan rapi di berbagai tempat.
Naskah-naskah kuno itu kemudian dikumpulkan, disaring, dibandingkan satu sama lain dan selanjutnya diredaksikan kembali. Proses ini terus berlangsung selama berabad-abad. Dan pada akhirnya tersusunlah sebuah daftar kitab-kitab yang dikanonkan, seperti yang kita miliki sekarang.
Proses penyalinan kembali, sampai dengan pengkanonan Perjanjian Lama (PL) dilakukan oleh para rabi Yahudi. Proses ini baru selesai pada akhir abad pertama Masehi dan ditetapkan dalam suatu sidang rabi Yahudi di Yamnia, tahun 90 M. Sedangkan proses yang sama untuk Perjanjian Baru (PB) dilakukan oleh para Bapa Gereja, dan telah selesai dengan ditetapkannya kanon PB dalam Consili (Sidang Sinode Raya) Gereja di Karthago, tahun 397 M, dan diteguhkan lagi di Konsili di Hippo, tahun 419 M.
Di bagaian lain, naskah-naskah kuno tersebut disimpan rapi oleh kelompok-kelompok keagamaan (baik agama Yahudi maupun Kristen), yang tersebar di berbagai tempat seperti di Palestina, di Mesir di Roma dan Byzantium. Ketika Bizantium jatuh ke tangan Otoman Turki (tahun 1453), naskah-naskah yang tersimpan di sana dilarikan ke barat (Roma) oleh para biarawan untuk keperluan ilmu pengetahuan. 
Di kemudian hari naskah-naskah tersebut ditemukan kembali dan digali dari tempat-tempat penyimpanannya guna keperluan arkheologi (ilmu kepurbakalaan). Yang paling besar dan yang paling akhir dari sejarah penemuan naskah kuno Alkitab adalah penggalian di Qumran, di dekat Laut Mati, pada tahun 1947.
Hingga sekarang naskah-naskah kuno tersebut (sebagai besar didalam keadaan yang sudah rusak karena termakan usia) tersimpan rapi di beberapa museum di beberapa kota seperti Yerusalem, Vatikan, Alexandri (Mesir) dan sebagainya.

ARTI SEBUAH NASKAH KUNO
Paulus berkata bahwa tulisan (hukum yang tertulis) itu mematikan, tetapi Roh yang menghidupkan (2-Kor.3:6). Ayat ini mengajarkan kebenaran bahwa orang Kristen tidak boleh mengkultuskan tulisan-tulisan atau naskah-naskah yang dianggap “suci”.
Tulisan-tulisan (naskah-naskah kuno) itu memang berguna, seperti dikatakan oleh Paulus sendiri di dalam 2-Timotius 3:16-17. Tetapi yang dimaksud “berguna’ oleh Paulus itu bukanlah tulisannya secara harafiah atau kitabnya secara fisik, melainkan isi atau makna yang terkandung di dalam tulisan itu, yang disebut : “yang diilhamkan Allah (theopneustos)”. Lagi pula, menurut doktrin dan keyakinan gereja, fungsi theopneustos yang melekat pada naskah-naskah kuno tersebut telah “diturunalihkan” kepada kanon setelah ditetapkannya daftar kanon. Dengan begitu sebenarnya (dapat dikatakan bahwa), secara magis-religius, ditilik dari aspek kewiwabaannya, naskah-naskah kuno itu memiliki nilai yang sama dengan kanon Alkitab yang kita miliki.
Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa Allah tidak berkepentingan dengan sebuah naskah tulisan tangan manusia, kendatipun naskah itu ditulis di atas lempengan emas. Lihatlah sebagai contoh; Dalam kitab Keluaran 32 diceritakan bahwa, karena marah melihat umat Israel menyembah patung lembu emas, Musa membanting ke tanah hingga pecah dua log batu yang berisi naskah tulisan tangan Allah sendiri (lih. Ay.15-19), tetapi Allah tidak murka karena hal itu. Malah Ia menyuruh Musa untuk memahat dua log batu yang baru, naik kembali ke gunung Sinai, lalu mendikte Musa untuk menulis kembali kesepuluf Firman itu (lih. Kel. 34:1-35).
Bagi Tuhan, yang penting bukanlah naskah atau kitabnya. Tetapi apakah Firman-Nya itu ditaruh di dalam hati, direnungkan siang dan malam, ditaati dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (Mazm. 119:11; 1:1-3).
Sejauh ini, manfaat dari naskah-naskah kuno tersebut lebih berhubungan dengan kepentingan arkheologi (ilmu kepurbakalaan) Alkitab. Ia diperlukan sebagai referensi (bahan pembanding) yang penting dalam memahami kebenaran Alkitab. Tetapi ia lebih dibutuhkan di dunia pendidikan teologi, dan tidak terlalu dibutuhkan oleh kaum awam. Ia berguna bagi konsumsi pengetahuan teologi, tetapi tidak terlalu penting bagi pembangunan iman dan pembentukan karakter Kristen.

KAPAN ALKITAB DATANG DI KISAR?
Mengikuti alur cerita rakyat Oirata tersebut di atas, dapat dipastikan bahwa waktu kedatangan Alkitab di pulau Kisar adalah bersamaan dengan waktu kedatangan orang Belanda (VOC). Jejak kedatangan VOC di pulau Kisar, khususnya perihal pendaratan mereka di pantai Kiasar, bisa ditelusuri melalui prasasti peninggalan VOC yang tertera di dinding batu karang di pantai itu.
Seperti kita ketahui bahwa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), adalah maskapai perdagangan Belanda yang menguasai Indonesia sejak awal abad ke-17. Kapan tepatnya waktu kedatangan VOC di pulau Kisar, harus ditelusuri dari dua kemungkinan. (1) dari aktivitas VOC di Wilayah Maluku, dan (2) dari aktivitas VOC di Wilayah Timor (NTT sekarang). Di antara kedua kemungkinan tersebut, yang paling mendekati kebenaran adalah kemungkinan yang kedua. Sebab di zaman Belanda, pulau Kisar dan Wilayah ex Kecamatan Selatan Daya termasuk dalam teritori Residen Timor.
Perihal pantai Kiasar sebagai tempat pendaratan pertama, menarik pula untuk dijadikan titik-tolak penelusuran. Mungkin kapal VOC itu bertolak dari Timor, tepatnya dari Wilayah Tomor Leste sekarang, dan secara khusus melakukan ekspedisi ke pulau Kisar. Pantai Kiasar menjadi pilihan pendaratan pertama, mungkin karena mereka berpatokan pada nyala api di malam hari dari negeri lama Manheri dan Mauhara yang memang dapat terlihat jelas di wilayah Koun (Timor Leste).
Kemudian, hubungannya dengan kedatangan Alkitab, tidak dapat dilepaskan dari gerakan misi pekabaran Injil di dunia Barat pada abad ke-16. Juga hubungannya dengan Sejarah Gereja Indonesia di zaman VOC.
Pasca reformasi tahun 1517, dikalangan Gereja Katolik Roma (GKR) muncul sebuah gerakan yang dikenal dengan sebutan Gerakan Kontra Reformasi. Gerakan ini melahirkan semangan pekabaran Injil yang luar biasa. Oleh dukungan penuh dari Pemerintah Spanyol dan Portogis, maka dalam abad itu juga seluruh wilayah jajahan Spanyol dan Portogis, terutama kawasan Amerika Latin dan Filipina, dikristenkan.
Misi ke Asia dikerjakan oleh Fransiscus Xaverius dan para misionari dari ordo Fransiscan di wilayah Tiongkok, Jepang dan sampai juga di Indonesia. Kegiatan para misionari Fransiscan di Indonesia dimulai pada tahun 1534, di wilayah Halmahera. Tahun ini dikenal sebagai tahun masuknya Injil pertama kali ke Indonesia. Fransiscus Xaverius sendiri baru mulai kegiatannya di Ambon pada tahun 1546.
Di kalangan Reformasi (Protestan) pun semangat pekabaran Injil mulai bangkit. Didorong oleh adanya gerakan-gerakan baru yang muncul di Eropa Barat seperti pencerahan dan revival (kebangunan rohani), maka Badan-badan Misi (Bld : Zending-zending) mulai bermunculan. Kemudian Zending-zending ini melakukan usaha pekabaran Injil ke seluruh dunia. Zending-zending Belanda melakukan kegiatan pekabaran Injil di wilayah-wilayah jajahan Belanda, terutama di Indonesia pada awal abad ke-17.
Pada tahun 1609 mulai dilakukan penempatan (pengutusan) pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Juga dilakukan penggembalaan (pelatihan) bagi anak-anak kapal VOC untuk juga melakukan pelayanan kerohanian terhadap pegawai-pegawai VOC. Kemungkinan di masa inilah terjadi semangat misi pekabaran Injil, yang juga sampai di pulau Kisar.
Jika kita merunut benang merah antara kedatangan VOC di pulau Kisar dengan aktivitas VOC di Timor, maka kita harus pula memperhatikan tahun pekabaran Injil di wilayah tersebut. Wilayah Timor baru terbuka bagi Injil pada akhir abad ke-17, ketika seorang raja meminta sendiri untuk dibaptiskan (± tahun 1670).
Dari uraian data-data tersebut di atas, bisa diduga bahwa kedatangan kapal VOC di pulau Kisar, dengan membawa Alkitab, terjadi pada kurun waktu antara akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18.

KESIMPULAN

Menyatakan bahwa Alkitab yang dibawa ke Kisar oleh orang Belanda (VOC) tersebut adalah salah satu naskah kuno, merupakan pernyataan yang mengada-ada, yang tidak didukung oleh data dan fakta yang cukup untuk dipertanggungjawabkan.
Logikanya akan sedikit tersambung seandainya Alkitab yang dikubur di negeri lama Manheri itu dibawa oleh (bersamaan dengan datangnya) keluarga Darmasa dan Tehe-teher, yang konon adalah keturunan Israel. Dari cerita-cerita yang berkembang mengenai asal-usul dan sikap kepercayaan yang mereka tunjukan, bisa diduga bahwa mereka adalah keturunan orang-orang Yahudi yang keluar dari Palestina pada waktu huru-hara tahun 70 M (zaman Titus) atau tahun 135 M (zaman Hardianus). Jadi baru masuk akal apabila Alkitab yang dikubur di Manheri itu disebut naskah kuno, jika keluarga Darmasa dan Tehe- teher yang membawa Alkitab tersebut ke Oirata. Sebab mereka lebih mungkin memiliki naskah kuno dibandingkan orang Belanda.
Bagi penulis, tindakan team dari Jakarta itu terkesan “memperlakukan” Alkitab yang terkubur di negeri lama Manheri sebagai sebuah “benda pusaka” yang bernilai sacral atau magis-religius, sampai-sampai di tempat yang diduga menjadi situs penyimpanan Alkitab itu orang harus menanggalkan kasut sebab katanya tempat itu kudus. Penulis beranggapan bahwa tindakan tersebut sangat berlebihan dan menyesatkan masyarakat (umat).
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk meluruskan salah pengertian yang ada. Tuhan Yesus memberkati.























DAFTAR PUSTAKA

1. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
    Jilid I, A-L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF, Jakarta, 1997.
2. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
    Jilid II, M-Z, Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF, Jakarta, 1997.
3. Berkhof, H., & Enklaar, I.H
   Sejarah Gereja, BPK – Gunung Mulia, Jakarta, 2001.
4. Hill, Andrew E., & Walton, John H.,
    Survey Perjanjian Lama, Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang, 1998.
5. Tenney, Merrill C
    Survey Perjanjian Baru, Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malamh, 2001.
6. Van Den End, Th
    Harta Dalam Bejana, Sejarah Gereja Ringkas, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991.
7. Wahono, S. Wismoady
    Di Sini Kutemukan Petunjuk Mempelajari&Mengajarkan Alkitab BPK Gunung Mulia Jakarta  1990



Isnin, 30 Mac 2015

OIRATA DULU dan OIRATA SKARANG



OIRATA DULU dan OIRATA SKARANG
Oleh : Pdt. Musa Haisoo, STh

Telah di Edit oleh : Seigrits A. N. Ratusehaka,S.Sos (Wartawan Koran Bogor Com)
Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka (Amsl. 17:6).

Amsal adalah kumpulan kata-kata hikmat yang bersifat universal. Sifat keunivarsalannya didasarkan pada dua hal (1) karena isinya berupa bentuk atau materi pengajaran yang umum dipakai di wilayah Timur Dekat di zaman dahulu, dan (2) karena prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan di dalamnya adalah menyangkut perilaku hidup manusia sehari-hari, yang relevan diterapkan pada semua generasi dan semua kebudayaan. Oleh karena sifatnya yang universal itu, maka nats di atas tentu memiliki relevansi yang nyata bagi kehidupan kita di zaman ini, khususnya di Oirata.

Nats di atas menggambarkan hubungan yang bersifat simbiosis-mutualis (hubungan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan) di antara orang tua dengan anak-anak. Kata “orang-orang tua” di dalam ayat ini diparalelkan dengan kata “nenek moyang”. Maka sebaiknya, dalam arti yang luas, kita memahami hubungan simbiosis-mutualis di dalam ayat ini sebagai hubungan antara “generasi masa lampau” dengan “generasi masa kini”. Tetapi dalam lingkup yang lebih sempit, yakni lingkup keluarga atau rumah tangga, kebenaran inipun bisa diaplikasikan dalam hubungan antara orangtua dengan anak di dalam suatu keluarga atau suatu rumah tangga.

Sesuai judul dari tulisan ini, penulis ingin menggunakan ayat ini sebagai teropong untuk melihat kembali hubungan antara generasi Oirata di masa lampau dengan generasi Oirata di masa kini. Adakah ditemukan simpul simbiosis-mutualis di dalamnya? Tentu, setiap insan Oirata masa kini merasa bangga pada kejayaan dan kehebatan nenek-moyang kita di masa lalu. Tetapi apa yang terjadi sebaliknya? Apakah nenek-moyang kita, seandainya mereka bisa ditanya, merasa bangga pula pada generasi kita sekarang ini?

Di desa Oirata, tiap-tiap Soa, bahkan tiap-tiap Matarumah (wadah persatuan keluarga tertentu yang diatur secara adat istiadat) masing- masing memiliki “legenda” tentang kehebatan nenek-moyangnya. Karena terbatasnya pengetahuan penulis terhadap legenda-legenda tersebut, dan juga karena terbatasnya ruang dalam tulisan ini, maka tidak semua kisah kehebatan nenek moyang Oirata di masa lampau itu dapat diuraikan di sini. Penulis hanya mengangkat tiga contoh dengan harapan dapat mewakili keseluruhan kisah kehebatan nenek moyang Oirata di masa lampau. Siapa yang tidak tahu kedigdayaan Lewenmali  – Asamali yang dengan gigihnya berhasil mempertahankan kepetuanannya atas bumi pulau Kisar? Siapa yang tidak mengakui kisah kepahlawanan dari Tilwaku dan Saurai dalam perang di bukit Horok, yang hanya berdua saja dapat membantai dan menghabisi musuh-musuhnya sehingga darah mengalir dari bukit Horok sampai ke lembah Lekloor? Tidak terlupakan pula kisah kesaktian Horsair dan Mutasair, yang membuat miring kapal VOC di lepas pantai Kiasar, dan karena itu mereka memperoleh penghargaan berupa “Bendera dan Rotan” yang kemudian menjadi simbol abadi bagi pemerintahan Manheri dan Mauhara (Orata Timur dan Oirata Barat –red)?

Ketiga contoh di atas hanya merupakan sebagian kecil dari puluhan, bahkan ratusan kisah kehebatan menek moyang Oirata di masa lampau. Semuanya layak untuk dibanggakan oleh generasi kita sekarang ini. Kesimpulannya satu, yakni bahwa nenek moyang Oirata tempo dulu “Tidak ada Tanndingannya alias seng ada lawang”. Pertanyaanya sekarang adalah, apakah generasi Oirata saat ini mempunyai sesuatu yang patut dibanggakan seperti generasi Oirata tempo dulu? 
Perlu disadari bahwa konteks sosial-budaya dan paradigma di zaman nenek moyang kita dahulu sangat berbeda dengan konteks kita di abad post-modern* ini. Kehebatan dan kedigdayaan nenek-moyang kita di waktu yang lampau lebih bersifat mistis irasional karena memang mereka hidup pada era mistik. Era mistik adalah zaman dimana keunggulan manusia diukur dari hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa. Pada zaman itu siapa yang paling sakti, dialah yang menjadi kapitan. Sedangkan kita sekarang hidup di era IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi), dimana aktualisasi atau pembuktian diri seseorang lebih nampak dari kekuatan Rasio dan Intelektualnya. Seseorang diperhitungkan dan dihargai karena “ Isi Otaknya”, bukan karena “Isi Batinnya”. Artinya zaman sekarang, siapa yang Pintar, Terpelajar dan Berwawasan serta Berpengalaman luas, dialah yang menjadi kapitan. Kita hidup di era yang oleh Alkitab disebut “Yang Terdahulu Akan Menjadi Yang Terakhir dan Yang Terakhir Akan Menjadi Yang Terdahulu” (Mat.19:30). Kebenaran ucapan Tuhan Yesus ini tidak hanya berhubungan dengan dimensi teologis, tetapi juga dimensi sosiologis. Para Sosiolog di masa lampau telah memprediksi akan adanya perubahan peta sosial di kemudian hari. Elit-elit lama akan tenggelam dan tinggal nama, sedangkan elit-elit baru akan bermunculan. Disadari ataupun tidak, fenomena  perubahan peta sosial ini mulai nampak menyolok di Oirata saat sekarang ini.

Lebih jauh penulis mengajak pembaca untuk melihat secara luas tentang tantangan dalam hubungan kesejajaran antara Oirata dengan negeri-negeri (desa-red) lain di pulau Kisar. Parameternya adalah pada sisi Intelektual dan Skil atau Ketrampilan serta Kualitas Sumber Daya Manusianya.  Masih unggulkah Oirata di bandingkan dengan desa lain di pulau Kisar? Masih mungkinkan kita “dihargai” oleh orang-orang dari negeri lain sebagai Tuan Tanah Pulau Kisar? Mungkinkah kelak kita akan menjadi “pendatang” di negeri petuanan nenek-moyang kita sendiri.

Kembali kepada nats tersebut di atas, ada dua pesan moral yang penting bagi Oirata sekarang. (1) pentingnya kita membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab untuk menjadi generasi yang patut dibanggakan oleh nenek-moyang kita. Bagaimana cara-nya? Mari kita pikirkan dan upayakan bersama. (2) pentingnya membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi masa depan yang pantas untuk dibanggakan. Kita harus berpikir dan berupaya, agar anak-cucu kita akan menjadi lebih hebat dari kita, untuk memulihkan keunggulan Oirata di masa lalu yang kini nyaris tenggelam di telan Zaman.

Untuk hal ini hanya ada satu kata kunci dan jalan keluar yakni Sekolah, Sekolah dan Sekolah…! Lebih baik mengutamakan pendidikan anak cucu daripada mementingkan pembangunan rumah batu. Lebih baik mewariskan Ilmu Pengetahuan dan Ketrampilan kepada anak cucu daripada mewariskan harta benda kepada mereka, sebab harta akan habis, rumah batu pasti rusak, tetapi ilmu pengetahuan dan ketrampilan adalah modal luar biasa, yang dapat memberdayakan anak-cucu kita di kemudian hari untuk bersaing demi mengangkat harkat dan martabat Oirata kearah yang lebih baik.

Oirata juga memiliki orang- orang yang punya Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Kita patut membanggakan dua orang intelektual muda Oirata, masing-masing Prof. Dr. Roy Ratumanan, yang saat ini menjadi Staf Pengajar di UNPATI Ambon dan Yesayas Londingkene, MP, Staf Pengajar di UNDANA Kupang. Tanpa mengabaikan putra-putri Oirata lainnya yang malang-melintang di bidangnya masing-masing di berbagai daerah di Indonesia, penulis menunjuk dua putra Oirata itu sebagai bukti nyata bahwa Oirata tidak miskin sumber daya manusia yang berkualitas.

Penulis memastikan bahwa bukan manusia Oirata-nya yang terkebelakang, bukan juga IQ orang Oirata yang tergolong rendah, tetapi ada faktor lain yang menjadi penyebabnya, yakni paradigma dan pola pikir masyarakat Oirata yang keliru. Menarik untuk dijadikan indikator (petunjuk) bahwa Roy Ratumanan dan Yesayas Londingkene adalah putra- putra Oirata yang lahir dan besar di luar Oirata. Seandainya mereka lahir dan besar di Oirata, kemungkinan mereka akan bernasib sama seperti putra- putrid Oirata lainnya. Ini menunjukkan bahwa kekeliruannya tidak terletak pada sumber daya manusianya tetapi pada Sistem dan pengelolaannya. Harus disadari bersama oleh seluruh lapisan masyarakat  Oirata tentang kekeliruan ini, sehingga perlu ada koreksi dan perbaikan agar usaha mengembangkan sumber daya manusia Oirata dapat membuahkan hasil maksimal sebagaimana yang  diharapkan.   

Penulis teringat akan kritik Gubernur Timor Timur Ir. Mario Viegas Carascalao, kepada pemerintah Republik Indonesia, ketika gejolak sosial mulai merebak di wilayah itu pada tahun 1990-an. Menurut Carascalao, pemerintah Republik Indonesia melakukan kesalahan prioritas pembangunan di Timor Timur saat itu, yakni lebih mengutamakan pembangunan fisik dari pada pembangunan sumber daya manusianya, sehingga walaupun orang Timor Timur tinggal di rumah batu tetapi mental dan pola pikirnya masih seperti di rumah daun. Dan akibatnya, negara kita harus membayar mahal yakni kehilangan hak kedaulatannya atas Timor Timur.

Contoh di atas hanya sebagai bahan referensi sejarah yang bertujuan menyadarkan orang Oirata akan pentingnya membangun manusia Oirata yang berkualitas di masa skarang dan masa yang akan datang. Sebab tanpa disadari kekeliruan yang sama juga terjadi di Oirata pada saat ini. Orang Oirata berlomba-lomba membangun rumah batu, tetapi pendidikan anak-anak diabaikan. Pelihara babi, domba dan kambing sebagai modal untuk membangun rumah batu, tetapi untuk menyekolahkan anak itu soal nomor kedua bahkan ketiga. Yang pasti Oirata akan membayar mahal kekeliruan ini di masa yang akan datang, terutama resiko- resiku di bidang sosial- budaya .

Mari buka mata dan buka hati, bersama- sama melihat kenyataan skarang bahwa Oirata saat ini jika dibandingkan dengan desa lainnya di pulau Kisar sangat tertinggal dalam aspek pembangunan Sumber Daya Manusianya. Nampak bahwa Oirata maju dalam pembangunan fisik, tetapi pembangunan sumber daya manusia kurang mendapatkan perhatian sehingga mundur beberapa tingkat dibawah desa lain. Berbeda dengan desa lain di pulau Kisar, mereka tidak ketinggalan dalam pembangunan fisik dan sangat maju dalam pembangunan peningkatan Sumber Daya Manusianya. Keadaan dan kenyataan ini pasti sangat tidak menguntungkan bagi posisi masyarakat Oirata dalam berbagai aspek kehidupan dalam beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, orang Oirata sudah harus bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Orang Oirata perlu memberikan perhatian yang sangat serius kepada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama untuk generasi yang akan datang.

Akhirnya, penulis hendak mengemukakan dua hal sebagai ajakan. (1) Mari berkontempelasi, merenung dan menyadari arti yang terkandung di dalam hubungan antara Oirata Dulu dengan Oirata Skarang. (2) Kontempelasi dan perenungan kita harus melahirkan refleksi, berupa konsep dan rencana atau kerangka acuan (action plan) yang jelas, mengenai bagaimana wujud dari Oirata di masa datang. Seluruh potensi dan elemen masyarakat Oirata harus melakukan hal ini bersama-sama. Penulis mengusulkan dibentuknya sebuah Lembaga seperti Yayasan yang secara khusus berkonsentrasi membangun sumber daya manusia orang Oirata. Lembaga tersebut baiknya didukung oleh seluruh elemen masyarakat Oirata sehingga usaha pengembangan sumber daya manusia yang dikerjakan oleh lembaga tersebut akan menjadi wujud dari usaha bersama seluruh masyarakat Oirata.                

Perlu disadari bahwa suatu generasi masa depan yang berkualitas takkan mungkin seperti sebuah benda berharga yang jatuh dari langit atau terjadi dengan begitu saja. Hal itu harus diusahakan dan diperjuangkan dengan serius dan kesungguhan hati karena tidak semudah membalik telapak tangan. Ia membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Pepatah “Berakit-rakit ke Hulu, Berenang-renang ke Tepian” adalah kalimat yang relevan untuk hal ini. Ibarat petani yang harus menggarap tanahnya dan menabur dengan linangan air mata terlebih dahulu, untuk kemudian menuai dengan bersorak-sorai (Mazm.126:5-6).