Isnin, 30 Mac 2015

OIRATA DULU dan OIRATA SKARANG



OIRATA DULU dan OIRATA SKARANG
Oleh : Pdt. Musa Haisoo, STh

Telah di Edit oleh : Seigrits A. N. Ratusehaka,S.Sos (Wartawan Koran Bogor Com)
Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka (Amsl. 17:6).

Amsal adalah kumpulan kata-kata hikmat yang bersifat universal. Sifat keunivarsalannya didasarkan pada dua hal (1) karena isinya berupa bentuk atau materi pengajaran yang umum dipakai di wilayah Timur Dekat di zaman dahulu, dan (2) karena prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan di dalamnya adalah menyangkut perilaku hidup manusia sehari-hari, yang relevan diterapkan pada semua generasi dan semua kebudayaan. Oleh karena sifatnya yang universal itu, maka nats di atas tentu memiliki relevansi yang nyata bagi kehidupan kita di zaman ini, khususnya di Oirata.

Nats di atas menggambarkan hubungan yang bersifat simbiosis-mutualis (hubungan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan) di antara orang tua dengan anak-anak. Kata “orang-orang tua” di dalam ayat ini diparalelkan dengan kata “nenek moyang”. Maka sebaiknya, dalam arti yang luas, kita memahami hubungan simbiosis-mutualis di dalam ayat ini sebagai hubungan antara “generasi masa lampau” dengan “generasi masa kini”. Tetapi dalam lingkup yang lebih sempit, yakni lingkup keluarga atau rumah tangga, kebenaran inipun bisa diaplikasikan dalam hubungan antara orangtua dengan anak di dalam suatu keluarga atau suatu rumah tangga.

Sesuai judul dari tulisan ini, penulis ingin menggunakan ayat ini sebagai teropong untuk melihat kembali hubungan antara generasi Oirata di masa lampau dengan generasi Oirata di masa kini. Adakah ditemukan simpul simbiosis-mutualis di dalamnya? Tentu, setiap insan Oirata masa kini merasa bangga pada kejayaan dan kehebatan nenek-moyang kita di masa lalu. Tetapi apa yang terjadi sebaliknya? Apakah nenek-moyang kita, seandainya mereka bisa ditanya, merasa bangga pula pada generasi kita sekarang ini?

Di desa Oirata, tiap-tiap Soa, bahkan tiap-tiap Matarumah (wadah persatuan keluarga tertentu yang diatur secara adat istiadat) masing- masing memiliki “legenda” tentang kehebatan nenek-moyangnya. Karena terbatasnya pengetahuan penulis terhadap legenda-legenda tersebut, dan juga karena terbatasnya ruang dalam tulisan ini, maka tidak semua kisah kehebatan nenek moyang Oirata di masa lampau itu dapat diuraikan di sini. Penulis hanya mengangkat tiga contoh dengan harapan dapat mewakili keseluruhan kisah kehebatan nenek moyang Oirata di masa lampau. Siapa yang tidak tahu kedigdayaan Lewenmali  – Asamali yang dengan gigihnya berhasil mempertahankan kepetuanannya atas bumi pulau Kisar? Siapa yang tidak mengakui kisah kepahlawanan dari Tilwaku dan Saurai dalam perang di bukit Horok, yang hanya berdua saja dapat membantai dan menghabisi musuh-musuhnya sehingga darah mengalir dari bukit Horok sampai ke lembah Lekloor? Tidak terlupakan pula kisah kesaktian Horsair dan Mutasair, yang membuat miring kapal VOC di lepas pantai Kiasar, dan karena itu mereka memperoleh penghargaan berupa “Bendera dan Rotan” yang kemudian menjadi simbol abadi bagi pemerintahan Manheri dan Mauhara (Orata Timur dan Oirata Barat –red)?

Ketiga contoh di atas hanya merupakan sebagian kecil dari puluhan, bahkan ratusan kisah kehebatan menek moyang Oirata di masa lampau. Semuanya layak untuk dibanggakan oleh generasi kita sekarang ini. Kesimpulannya satu, yakni bahwa nenek moyang Oirata tempo dulu “Tidak ada Tanndingannya alias seng ada lawang”. Pertanyaanya sekarang adalah, apakah generasi Oirata saat ini mempunyai sesuatu yang patut dibanggakan seperti generasi Oirata tempo dulu? 
Perlu disadari bahwa konteks sosial-budaya dan paradigma di zaman nenek moyang kita dahulu sangat berbeda dengan konteks kita di abad post-modern* ini. Kehebatan dan kedigdayaan nenek-moyang kita di waktu yang lampau lebih bersifat mistis irasional karena memang mereka hidup pada era mistik. Era mistik adalah zaman dimana keunggulan manusia diukur dari hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa. Pada zaman itu siapa yang paling sakti, dialah yang menjadi kapitan. Sedangkan kita sekarang hidup di era IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi), dimana aktualisasi atau pembuktian diri seseorang lebih nampak dari kekuatan Rasio dan Intelektualnya. Seseorang diperhitungkan dan dihargai karena “ Isi Otaknya”, bukan karena “Isi Batinnya”. Artinya zaman sekarang, siapa yang Pintar, Terpelajar dan Berwawasan serta Berpengalaman luas, dialah yang menjadi kapitan. Kita hidup di era yang oleh Alkitab disebut “Yang Terdahulu Akan Menjadi Yang Terakhir dan Yang Terakhir Akan Menjadi Yang Terdahulu” (Mat.19:30). Kebenaran ucapan Tuhan Yesus ini tidak hanya berhubungan dengan dimensi teologis, tetapi juga dimensi sosiologis. Para Sosiolog di masa lampau telah memprediksi akan adanya perubahan peta sosial di kemudian hari. Elit-elit lama akan tenggelam dan tinggal nama, sedangkan elit-elit baru akan bermunculan. Disadari ataupun tidak, fenomena  perubahan peta sosial ini mulai nampak menyolok di Oirata saat sekarang ini.

Lebih jauh penulis mengajak pembaca untuk melihat secara luas tentang tantangan dalam hubungan kesejajaran antara Oirata dengan negeri-negeri (desa-red) lain di pulau Kisar. Parameternya adalah pada sisi Intelektual dan Skil atau Ketrampilan serta Kualitas Sumber Daya Manusianya.  Masih unggulkah Oirata di bandingkan dengan desa lain di pulau Kisar? Masih mungkinkan kita “dihargai” oleh orang-orang dari negeri lain sebagai Tuan Tanah Pulau Kisar? Mungkinkah kelak kita akan menjadi “pendatang” di negeri petuanan nenek-moyang kita sendiri.

Kembali kepada nats tersebut di atas, ada dua pesan moral yang penting bagi Oirata sekarang. (1) pentingnya kita membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab untuk menjadi generasi yang patut dibanggakan oleh nenek-moyang kita. Bagaimana cara-nya? Mari kita pikirkan dan upayakan bersama. (2) pentingnya membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi masa depan yang pantas untuk dibanggakan. Kita harus berpikir dan berupaya, agar anak-cucu kita akan menjadi lebih hebat dari kita, untuk memulihkan keunggulan Oirata di masa lalu yang kini nyaris tenggelam di telan Zaman.

Untuk hal ini hanya ada satu kata kunci dan jalan keluar yakni Sekolah, Sekolah dan Sekolah…! Lebih baik mengutamakan pendidikan anak cucu daripada mementingkan pembangunan rumah batu. Lebih baik mewariskan Ilmu Pengetahuan dan Ketrampilan kepada anak cucu daripada mewariskan harta benda kepada mereka, sebab harta akan habis, rumah batu pasti rusak, tetapi ilmu pengetahuan dan ketrampilan adalah modal luar biasa, yang dapat memberdayakan anak-cucu kita di kemudian hari untuk bersaing demi mengangkat harkat dan martabat Oirata kearah yang lebih baik.

Oirata juga memiliki orang- orang yang punya Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Kita patut membanggakan dua orang intelektual muda Oirata, masing-masing Prof. Dr. Roy Ratumanan, yang saat ini menjadi Staf Pengajar di UNPATI Ambon dan Yesayas Londingkene, MP, Staf Pengajar di UNDANA Kupang. Tanpa mengabaikan putra-putri Oirata lainnya yang malang-melintang di bidangnya masing-masing di berbagai daerah di Indonesia, penulis menunjuk dua putra Oirata itu sebagai bukti nyata bahwa Oirata tidak miskin sumber daya manusia yang berkualitas.

Penulis memastikan bahwa bukan manusia Oirata-nya yang terkebelakang, bukan juga IQ orang Oirata yang tergolong rendah, tetapi ada faktor lain yang menjadi penyebabnya, yakni paradigma dan pola pikir masyarakat Oirata yang keliru. Menarik untuk dijadikan indikator (petunjuk) bahwa Roy Ratumanan dan Yesayas Londingkene adalah putra- putra Oirata yang lahir dan besar di luar Oirata. Seandainya mereka lahir dan besar di Oirata, kemungkinan mereka akan bernasib sama seperti putra- putrid Oirata lainnya. Ini menunjukkan bahwa kekeliruannya tidak terletak pada sumber daya manusianya tetapi pada Sistem dan pengelolaannya. Harus disadari bersama oleh seluruh lapisan masyarakat  Oirata tentang kekeliruan ini, sehingga perlu ada koreksi dan perbaikan agar usaha mengembangkan sumber daya manusia Oirata dapat membuahkan hasil maksimal sebagaimana yang  diharapkan.   

Penulis teringat akan kritik Gubernur Timor Timur Ir. Mario Viegas Carascalao, kepada pemerintah Republik Indonesia, ketika gejolak sosial mulai merebak di wilayah itu pada tahun 1990-an. Menurut Carascalao, pemerintah Republik Indonesia melakukan kesalahan prioritas pembangunan di Timor Timur saat itu, yakni lebih mengutamakan pembangunan fisik dari pada pembangunan sumber daya manusianya, sehingga walaupun orang Timor Timur tinggal di rumah batu tetapi mental dan pola pikirnya masih seperti di rumah daun. Dan akibatnya, negara kita harus membayar mahal yakni kehilangan hak kedaulatannya atas Timor Timur.

Contoh di atas hanya sebagai bahan referensi sejarah yang bertujuan menyadarkan orang Oirata akan pentingnya membangun manusia Oirata yang berkualitas di masa skarang dan masa yang akan datang. Sebab tanpa disadari kekeliruan yang sama juga terjadi di Oirata pada saat ini. Orang Oirata berlomba-lomba membangun rumah batu, tetapi pendidikan anak-anak diabaikan. Pelihara babi, domba dan kambing sebagai modal untuk membangun rumah batu, tetapi untuk menyekolahkan anak itu soal nomor kedua bahkan ketiga. Yang pasti Oirata akan membayar mahal kekeliruan ini di masa yang akan datang, terutama resiko- resiku di bidang sosial- budaya .

Mari buka mata dan buka hati, bersama- sama melihat kenyataan skarang bahwa Oirata saat ini jika dibandingkan dengan desa lainnya di pulau Kisar sangat tertinggal dalam aspek pembangunan Sumber Daya Manusianya. Nampak bahwa Oirata maju dalam pembangunan fisik, tetapi pembangunan sumber daya manusia kurang mendapatkan perhatian sehingga mundur beberapa tingkat dibawah desa lain. Berbeda dengan desa lain di pulau Kisar, mereka tidak ketinggalan dalam pembangunan fisik dan sangat maju dalam pembangunan peningkatan Sumber Daya Manusianya. Keadaan dan kenyataan ini pasti sangat tidak menguntungkan bagi posisi masyarakat Oirata dalam berbagai aspek kehidupan dalam beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, orang Oirata sudah harus bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Orang Oirata perlu memberikan perhatian yang sangat serius kepada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama untuk generasi yang akan datang.

Akhirnya, penulis hendak mengemukakan dua hal sebagai ajakan. (1) Mari berkontempelasi, merenung dan menyadari arti yang terkandung di dalam hubungan antara Oirata Dulu dengan Oirata Skarang. (2) Kontempelasi dan perenungan kita harus melahirkan refleksi, berupa konsep dan rencana atau kerangka acuan (action plan) yang jelas, mengenai bagaimana wujud dari Oirata di masa datang. Seluruh potensi dan elemen masyarakat Oirata harus melakukan hal ini bersama-sama. Penulis mengusulkan dibentuknya sebuah Lembaga seperti Yayasan yang secara khusus berkonsentrasi membangun sumber daya manusia orang Oirata. Lembaga tersebut baiknya didukung oleh seluruh elemen masyarakat Oirata sehingga usaha pengembangan sumber daya manusia yang dikerjakan oleh lembaga tersebut akan menjadi wujud dari usaha bersama seluruh masyarakat Oirata.                

Perlu disadari bahwa suatu generasi masa depan yang berkualitas takkan mungkin seperti sebuah benda berharga yang jatuh dari langit atau terjadi dengan begitu saja. Hal itu harus diusahakan dan diperjuangkan dengan serius dan kesungguhan hati karena tidak semudah membalik telapak tangan. Ia membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Pepatah “Berakit-rakit ke Hulu, Berenang-renang ke Tepian” adalah kalimat yang relevan untuk hal ini. Ibarat petani yang harus menggarap tanahnya dan menabur dengan linangan air mata terlebih dahulu, untuk kemudian menuai dengan bersorak-sorai (Mazm.126:5-6).