Ahad, 5 April 2015

MENELUSURI JEJAK KEDATANGAN ALKITAB DI PULAU KISAR



MENELUSURI JEJAK KEDATANGAN ALKITAB
DI PULAU KISAR


P e n u l i s       : Pdt. Musa Haisoo, STh. (Gembala Sidang GBI Tulungagung)
E d i t o r         : Seigrits A. N. Ratusehaka,S.Sos ([1]Wartawan Koran Bogor Com)

PENDAHULUAN
Jejak kedatangan Alkitab di pulau Kisar tidak dapat dilepaskan dari sebuah cerita rakyat (“legenda”) dari masyarakat Oirata. Konon, di zaman VOC, sebuah kapal VOC merapat di pantai Kiasar, dan itulah kedatangan pertama orang Belanda di pulau ini. Pantai Kiasar merupakan bagian dari wilayah petuanan Desa Oirata, sebuah pantai kecil yang terletak di pesisir selatan pulau Kisar. Menurut cerita, nama “Kisar” untuk pulau ini berasal dari nama “Kiasar” tersebut. Penamaan ini dilakukan oleh orang Belanda. Sedangkan nama asli dari pulau ini adalah Yotowa (dalam bahasa Oirata) atau Yotowawa (dalam bahasa Meher).
Kedatangan kapal VOC itu disambut oleh dua orang tokoh masyarakat Oirata, yakni Horsair dan Mutasair. Konon, ketika Horsair dan Mutasair ini naik ke kapal VOC, kapal tersebut tiba-tiba saja menjadi miring dan nyaris tenggelam. Hal ini disebabkan karena kesaktian yang dimiliki oleh kedua tokoh masyarakat itu.
Selanjutnya VOC memberikan dua pasang rotan, dua pasang bendera dan sebuah Alkitab, sebagai hadiah. Oleh “Dewan Adat” Oirata, rotan dan bendera tersebut ditetapkan sebagai symbol pemerintahan Desa Manheri (Oirata Timur) dan Mauhara (Oirata Barat). Sedangkan Alkitab dipendam (dikuburkan) di negeri lama Manheri.
Penelusuran jejak kedatangan Alkitab di pulau Kisar menjadi penting pada hari-hari belakangan ini, terutama bagi masyarakat Oirata di pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya. Hal ini disebabkan oleh kehadiran sebuah Team Doa dari Jakarta pada pertengahan bulan September 2010, yang menyebar informasi bahwa Alkitab yang dibawa ke pulau Kisar tersebut merupakan naskah asli Alkitab.
Sempat terjadi polemik di Oirata, sebab team ini mendorong dilakukannya penggalian situs tempat penguburan Alkitab tersebut. Menurut mereka Alkitab itu harus diangkat, sebab gara-gara penguburan Alkitab di Kisar itulah maka dunia, terutama Indonesia, tidak diberkati oleh Tuhan. Upaya penggalian ini ditentang oleh sebagian masyarakat Oirata, terutama oleh keluarga-keluarga atau matarumah- matarumah yang memiliki hak dan kewajiban untuk memelihara warisan budaya leluhur Oirata yang tersimpan di negeri lama Manheri.
Tulisan ini dimaksudkan untuk meluruskan pemahaman masyarakat seputar Alkitab yang dikuburkan itu apakah benar naskah asli Alkitab. Bukan membahas kebenaran cerita soal penguburan Alkitab itu sendiri.

MENGANAI NASKAH ASLI ALKITAB
Apa yang disebutkan sebagai naskah asli Alkitab sudah tidak ada lagi, sebab sudah hilang atau rusak termakan usia. Ini sangatlah wajar, sebab naskah-naskah tersebut berupa manuskrip-manuskrip (tulisan tangan manusia) di atas lembaran-lembaran papyrus (lembaran-lembaran yang terbuat dari batang / daun gelagah).
Naskah yang ada ialah salinan-salinan (populer dengan sebutan naskah-naskah kuno), yang juga ditulis di atas lembar-lembar papyrus. Media tulis yang paling modern adalah menggunakan perkamen (lembaran yang terbuat dari kulit binatang). Salinan-salinan tersebut dikerjakan oleh para ahli kitab secara turun temurun, selama berabad-abad (dalam kurun waktu ± 1400 tahun lamanya). Kemudian naskah-naskah kuno itu disimpan rapi di berbagai tempat.
Naskah-naskah kuno itu kemudian dikumpulkan, disaring, dibandingkan satu sama lain dan selanjutnya diredaksikan kembali. Proses ini terus berlangsung selama berabad-abad. Dan pada akhirnya tersusunlah sebuah daftar kitab-kitab yang dikanonkan, seperti yang kita miliki sekarang.
Proses penyalinan kembali, sampai dengan pengkanonan Perjanjian Lama (PL) dilakukan oleh para rabi Yahudi. Proses ini baru selesai pada akhir abad pertama Masehi dan ditetapkan dalam suatu sidang rabi Yahudi di Yamnia, tahun 90 M. Sedangkan proses yang sama untuk Perjanjian Baru (PB) dilakukan oleh para Bapa Gereja, dan telah selesai dengan ditetapkannya kanon PB dalam Consili (Sidang Sinode Raya) Gereja di Karthago, tahun 397 M, dan diteguhkan lagi di Konsili di Hippo, tahun 419 M.
Di bagaian lain, naskah-naskah kuno tersebut disimpan rapi oleh kelompok-kelompok keagamaan (baik agama Yahudi maupun Kristen), yang tersebar di berbagai tempat seperti di Palestina, di Mesir di Roma dan Byzantium. Ketika Bizantium jatuh ke tangan Otoman Turki (tahun 1453), naskah-naskah yang tersimpan di sana dilarikan ke barat (Roma) oleh para biarawan untuk keperluan ilmu pengetahuan. 
Di kemudian hari naskah-naskah tersebut ditemukan kembali dan digali dari tempat-tempat penyimpanannya guna keperluan arkheologi (ilmu kepurbakalaan). Yang paling besar dan yang paling akhir dari sejarah penemuan naskah kuno Alkitab adalah penggalian di Qumran, di dekat Laut Mati, pada tahun 1947.
Hingga sekarang naskah-naskah kuno tersebut (sebagai besar didalam keadaan yang sudah rusak karena termakan usia) tersimpan rapi di beberapa museum di beberapa kota seperti Yerusalem, Vatikan, Alexandri (Mesir) dan sebagainya.

ARTI SEBUAH NASKAH KUNO
Paulus berkata bahwa tulisan (hukum yang tertulis) itu mematikan, tetapi Roh yang menghidupkan (2-Kor.3:6). Ayat ini mengajarkan kebenaran bahwa orang Kristen tidak boleh mengkultuskan tulisan-tulisan atau naskah-naskah yang dianggap “suci”.
Tulisan-tulisan (naskah-naskah kuno) itu memang berguna, seperti dikatakan oleh Paulus sendiri di dalam 2-Timotius 3:16-17. Tetapi yang dimaksud “berguna’ oleh Paulus itu bukanlah tulisannya secara harafiah atau kitabnya secara fisik, melainkan isi atau makna yang terkandung di dalam tulisan itu, yang disebut : “yang diilhamkan Allah (theopneustos)”. Lagi pula, menurut doktrin dan keyakinan gereja, fungsi theopneustos yang melekat pada naskah-naskah kuno tersebut telah “diturunalihkan” kepada kanon setelah ditetapkannya daftar kanon. Dengan begitu sebenarnya (dapat dikatakan bahwa), secara magis-religius, ditilik dari aspek kewiwabaannya, naskah-naskah kuno itu memiliki nilai yang sama dengan kanon Alkitab yang kita miliki.
Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa Allah tidak berkepentingan dengan sebuah naskah tulisan tangan manusia, kendatipun naskah itu ditulis di atas lempengan emas. Lihatlah sebagai contoh; Dalam kitab Keluaran 32 diceritakan bahwa, karena marah melihat umat Israel menyembah patung lembu emas, Musa membanting ke tanah hingga pecah dua log batu yang berisi naskah tulisan tangan Allah sendiri (lih. Ay.15-19), tetapi Allah tidak murka karena hal itu. Malah Ia menyuruh Musa untuk memahat dua log batu yang baru, naik kembali ke gunung Sinai, lalu mendikte Musa untuk menulis kembali kesepuluf Firman itu (lih. Kel. 34:1-35).
Bagi Tuhan, yang penting bukanlah naskah atau kitabnya. Tetapi apakah Firman-Nya itu ditaruh di dalam hati, direnungkan siang dan malam, ditaati dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (Mazm. 119:11; 1:1-3).
Sejauh ini, manfaat dari naskah-naskah kuno tersebut lebih berhubungan dengan kepentingan arkheologi (ilmu kepurbakalaan) Alkitab. Ia diperlukan sebagai referensi (bahan pembanding) yang penting dalam memahami kebenaran Alkitab. Tetapi ia lebih dibutuhkan di dunia pendidikan teologi, dan tidak terlalu dibutuhkan oleh kaum awam. Ia berguna bagi konsumsi pengetahuan teologi, tetapi tidak terlalu penting bagi pembangunan iman dan pembentukan karakter Kristen.

KAPAN ALKITAB DATANG DI KISAR?
Mengikuti alur cerita rakyat Oirata tersebut di atas, dapat dipastikan bahwa waktu kedatangan Alkitab di pulau Kisar adalah bersamaan dengan waktu kedatangan orang Belanda (VOC). Jejak kedatangan VOC di pulau Kisar, khususnya perihal pendaratan mereka di pantai Kiasar, bisa ditelusuri melalui prasasti peninggalan VOC yang tertera di dinding batu karang di pantai itu.
Seperti kita ketahui bahwa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), adalah maskapai perdagangan Belanda yang menguasai Indonesia sejak awal abad ke-17. Kapan tepatnya waktu kedatangan VOC di pulau Kisar, harus ditelusuri dari dua kemungkinan. (1) dari aktivitas VOC di Wilayah Maluku, dan (2) dari aktivitas VOC di Wilayah Timor (NTT sekarang). Di antara kedua kemungkinan tersebut, yang paling mendekati kebenaran adalah kemungkinan yang kedua. Sebab di zaman Belanda, pulau Kisar dan Wilayah ex Kecamatan Selatan Daya termasuk dalam teritori Residen Timor.
Perihal pantai Kiasar sebagai tempat pendaratan pertama, menarik pula untuk dijadikan titik-tolak penelusuran. Mungkin kapal VOC itu bertolak dari Timor, tepatnya dari Wilayah Tomor Leste sekarang, dan secara khusus melakukan ekspedisi ke pulau Kisar. Pantai Kiasar menjadi pilihan pendaratan pertama, mungkin karena mereka berpatokan pada nyala api di malam hari dari negeri lama Manheri dan Mauhara yang memang dapat terlihat jelas di wilayah Koun (Timor Leste).
Kemudian, hubungannya dengan kedatangan Alkitab, tidak dapat dilepaskan dari gerakan misi pekabaran Injil di dunia Barat pada abad ke-16. Juga hubungannya dengan Sejarah Gereja Indonesia di zaman VOC.
Pasca reformasi tahun 1517, dikalangan Gereja Katolik Roma (GKR) muncul sebuah gerakan yang dikenal dengan sebutan Gerakan Kontra Reformasi. Gerakan ini melahirkan semangan pekabaran Injil yang luar biasa. Oleh dukungan penuh dari Pemerintah Spanyol dan Portogis, maka dalam abad itu juga seluruh wilayah jajahan Spanyol dan Portogis, terutama kawasan Amerika Latin dan Filipina, dikristenkan.
Misi ke Asia dikerjakan oleh Fransiscus Xaverius dan para misionari dari ordo Fransiscan di wilayah Tiongkok, Jepang dan sampai juga di Indonesia. Kegiatan para misionari Fransiscan di Indonesia dimulai pada tahun 1534, di wilayah Halmahera. Tahun ini dikenal sebagai tahun masuknya Injil pertama kali ke Indonesia. Fransiscus Xaverius sendiri baru mulai kegiatannya di Ambon pada tahun 1546.
Di kalangan Reformasi (Protestan) pun semangat pekabaran Injil mulai bangkit. Didorong oleh adanya gerakan-gerakan baru yang muncul di Eropa Barat seperti pencerahan dan revival (kebangunan rohani), maka Badan-badan Misi (Bld : Zending-zending) mulai bermunculan. Kemudian Zending-zending ini melakukan usaha pekabaran Injil ke seluruh dunia. Zending-zending Belanda melakukan kegiatan pekabaran Injil di wilayah-wilayah jajahan Belanda, terutama di Indonesia pada awal abad ke-17.
Pada tahun 1609 mulai dilakukan penempatan (pengutusan) pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Juga dilakukan penggembalaan (pelatihan) bagi anak-anak kapal VOC untuk juga melakukan pelayanan kerohanian terhadap pegawai-pegawai VOC. Kemungkinan di masa inilah terjadi semangat misi pekabaran Injil, yang juga sampai di pulau Kisar.
Jika kita merunut benang merah antara kedatangan VOC di pulau Kisar dengan aktivitas VOC di Timor, maka kita harus pula memperhatikan tahun pekabaran Injil di wilayah tersebut. Wilayah Timor baru terbuka bagi Injil pada akhir abad ke-17, ketika seorang raja meminta sendiri untuk dibaptiskan (± tahun 1670).
Dari uraian data-data tersebut di atas, bisa diduga bahwa kedatangan kapal VOC di pulau Kisar, dengan membawa Alkitab, terjadi pada kurun waktu antara akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18.

KESIMPULAN

Menyatakan bahwa Alkitab yang dibawa ke Kisar oleh orang Belanda (VOC) tersebut adalah salah satu naskah kuno, merupakan pernyataan yang mengada-ada, yang tidak didukung oleh data dan fakta yang cukup untuk dipertanggungjawabkan.
Logikanya akan sedikit tersambung seandainya Alkitab yang dikubur di negeri lama Manheri itu dibawa oleh (bersamaan dengan datangnya) keluarga Darmasa dan Tehe-teher, yang konon adalah keturunan Israel. Dari cerita-cerita yang berkembang mengenai asal-usul dan sikap kepercayaan yang mereka tunjukan, bisa diduga bahwa mereka adalah keturunan orang-orang Yahudi yang keluar dari Palestina pada waktu huru-hara tahun 70 M (zaman Titus) atau tahun 135 M (zaman Hardianus). Jadi baru masuk akal apabila Alkitab yang dikubur di Manheri itu disebut naskah kuno, jika keluarga Darmasa dan Tehe- teher yang membawa Alkitab tersebut ke Oirata. Sebab mereka lebih mungkin memiliki naskah kuno dibandingkan orang Belanda.
Bagi penulis, tindakan team dari Jakarta itu terkesan “memperlakukan” Alkitab yang terkubur di negeri lama Manheri sebagai sebuah “benda pusaka” yang bernilai sacral atau magis-religius, sampai-sampai di tempat yang diduga menjadi situs penyimpanan Alkitab itu orang harus menanggalkan kasut sebab katanya tempat itu kudus. Penulis beranggapan bahwa tindakan tersebut sangat berlebihan dan menyesatkan masyarakat (umat).
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk meluruskan salah pengertian yang ada. Tuhan Yesus memberkati.























DAFTAR PUSTAKA

1. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
    Jilid I, A-L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF, Jakarta, 1997.
2. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
    Jilid II, M-Z, Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF, Jakarta, 1997.
3. Berkhof, H., & Enklaar, I.H
   Sejarah Gereja, BPK – Gunung Mulia, Jakarta, 2001.
4. Hill, Andrew E., & Walton, John H.,
    Survey Perjanjian Lama, Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang, 1998.
5. Tenney, Merrill C
    Survey Perjanjian Baru, Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malamh, 2001.
6. Van Den End, Th
    Harta Dalam Bejana, Sejarah Gereja Ringkas, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991.
7. Wahono, S. Wismoady
    Di Sini Kutemukan Petunjuk Mempelajari&Mengajarkan Alkitab BPK Gunung Mulia Jakarta  1990



Isnin, 30 Mac 2015

OIRATA DULU dan OIRATA SKARANG



OIRATA DULU dan OIRATA SKARANG
Oleh : Pdt. Musa Haisoo, STh

Telah di Edit oleh : Seigrits A. N. Ratusehaka,S.Sos (Wartawan Koran Bogor Com)
Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka (Amsl. 17:6).

Amsal adalah kumpulan kata-kata hikmat yang bersifat universal. Sifat keunivarsalannya didasarkan pada dua hal (1) karena isinya berupa bentuk atau materi pengajaran yang umum dipakai di wilayah Timur Dekat di zaman dahulu, dan (2) karena prinsip-prinsip dasar yang dikemukakan di dalamnya adalah menyangkut perilaku hidup manusia sehari-hari, yang relevan diterapkan pada semua generasi dan semua kebudayaan. Oleh karena sifatnya yang universal itu, maka nats di atas tentu memiliki relevansi yang nyata bagi kehidupan kita di zaman ini, khususnya di Oirata.

Nats di atas menggambarkan hubungan yang bersifat simbiosis-mutualis (hubungan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan) di antara orang tua dengan anak-anak. Kata “orang-orang tua” di dalam ayat ini diparalelkan dengan kata “nenek moyang”. Maka sebaiknya, dalam arti yang luas, kita memahami hubungan simbiosis-mutualis di dalam ayat ini sebagai hubungan antara “generasi masa lampau” dengan “generasi masa kini”. Tetapi dalam lingkup yang lebih sempit, yakni lingkup keluarga atau rumah tangga, kebenaran inipun bisa diaplikasikan dalam hubungan antara orangtua dengan anak di dalam suatu keluarga atau suatu rumah tangga.

Sesuai judul dari tulisan ini, penulis ingin menggunakan ayat ini sebagai teropong untuk melihat kembali hubungan antara generasi Oirata di masa lampau dengan generasi Oirata di masa kini. Adakah ditemukan simpul simbiosis-mutualis di dalamnya? Tentu, setiap insan Oirata masa kini merasa bangga pada kejayaan dan kehebatan nenek-moyang kita di masa lalu. Tetapi apa yang terjadi sebaliknya? Apakah nenek-moyang kita, seandainya mereka bisa ditanya, merasa bangga pula pada generasi kita sekarang ini?

Di desa Oirata, tiap-tiap Soa, bahkan tiap-tiap Matarumah (wadah persatuan keluarga tertentu yang diatur secara adat istiadat) masing- masing memiliki “legenda” tentang kehebatan nenek-moyangnya. Karena terbatasnya pengetahuan penulis terhadap legenda-legenda tersebut, dan juga karena terbatasnya ruang dalam tulisan ini, maka tidak semua kisah kehebatan nenek moyang Oirata di masa lampau itu dapat diuraikan di sini. Penulis hanya mengangkat tiga contoh dengan harapan dapat mewakili keseluruhan kisah kehebatan nenek moyang Oirata di masa lampau. Siapa yang tidak tahu kedigdayaan Lewenmali  – Asamali yang dengan gigihnya berhasil mempertahankan kepetuanannya atas bumi pulau Kisar? Siapa yang tidak mengakui kisah kepahlawanan dari Tilwaku dan Saurai dalam perang di bukit Horok, yang hanya berdua saja dapat membantai dan menghabisi musuh-musuhnya sehingga darah mengalir dari bukit Horok sampai ke lembah Lekloor? Tidak terlupakan pula kisah kesaktian Horsair dan Mutasair, yang membuat miring kapal VOC di lepas pantai Kiasar, dan karena itu mereka memperoleh penghargaan berupa “Bendera dan Rotan” yang kemudian menjadi simbol abadi bagi pemerintahan Manheri dan Mauhara (Orata Timur dan Oirata Barat –red)?

Ketiga contoh di atas hanya merupakan sebagian kecil dari puluhan, bahkan ratusan kisah kehebatan menek moyang Oirata di masa lampau. Semuanya layak untuk dibanggakan oleh generasi kita sekarang ini. Kesimpulannya satu, yakni bahwa nenek moyang Oirata tempo dulu “Tidak ada Tanndingannya alias seng ada lawang”. Pertanyaanya sekarang adalah, apakah generasi Oirata saat ini mempunyai sesuatu yang patut dibanggakan seperti generasi Oirata tempo dulu? 
Perlu disadari bahwa konteks sosial-budaya dan paradigma di zaman nenek moyang kita dahulu sangat berbeda dengan konteks kita di abad post-modern* ini. Kehebatan dan kedigdayaan nenek-moyang kita di waktu yang lampau lebih bersifat mistis irasional karena memang mereka hidup pada era mistik. Era mistik adalah zaman dimana keunggulan manusia diukur dari hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa. Pada zaman itu siapa yang paling sakti, dialah yang menjadi kapitan. Sedangkan kita sekarang hidup di era IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi), dimana aktualisasi atau pembuktian diri seseorang lebih nampak dari kekuatan Rasio dan Intelektualnya. Seseorang diperhitungkan dan dihargai karena “ Isi Otaknya”, bukan karena “Isi Batinnya”. Artinya zaman sekarang, siapa yang Pintar, Terpelajar dan Berwawasan serta Berpengalaman luas, dialah yang menjadi kapitan. Kita hidup di era yang oleh Alkitab disebut “Yang Terdahulu Akan Menjadi Yang Terakhir dan Yang Terakhir Akan Menjadi Yang Terdahulu” (Mat.19:30). Kebenaran ucapan Tuhan Yesus ini tidak hanya berhubungan dengan dimensi teologis, tetapi juga dimensi sosiologis. Para Sosiolog di masa lampau telah memprediksi akan adanya perubahan peta sosial di kemudian hari. Elit-elit lama akan tenggelam dan tinggal nama, sedangkan elit-elit baru akan bermunculan. Disadari ataupun tidak, fenomena  perubahan peta sosial ini mulai nampak menyolok di Oirata saat sekarang ini.

Lebih jauh penulis mengajak pembaca untuk melihat secara luas tentang tantangan dalam hubungan kesejajaran antara Oirata dengan negeri-negeri (desa-red) lain di pulau Kisar. Parameternya adalah pada sisi Intelektual dan Skil atau Ketrampilan serta Kualitas Sumber Daya Manusianya.  Masih unggulkah Oirata di bandingkan dengan desa lain di pulau Kisar? Masih mungkinkan kita “dihargai” oleh orang-orang dari negeri lain sebagai Tuan Tanah Pulau Kisar? Mungkinkah kelak kita akan menjadi “pendatang” di negeri petuanan nenek-moyang kita sendiri.

Kembali kepada nats tersebut di atas, ada dua pesan moral yang penting bagi Oirata sekarang. (1) pentingnya kita membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab untuk menjadi generasi yang patut dibanggakan oleh nenek-moyang kita. Bagaimana cara-nya? Mari kita pikirkan dan upayakan bersama. (2) pentingnya membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi masa depan yang pantas untuk dibanggakan. Kita harus berpikir dan berupaya, agar anak-cucu kita akan menjadi lebih hebat dari kita, untuk memulihkan keunggulan Oirata di masa lalu yang kini nyaris tenggelam di telan Zaman.

Untuk hal ini hanya ada satu kata kunci dan jalan keluar yakni Sekolah, Sekolah dan Sekolah…! Lebih baik mengutamakan pendidikan anak cucu daripada mementingkan pembangunan rumah batu. Lebih baik mewariskan Ilmu Pengetahuan dan Ketrampilan kepada anak cucu daripada mewariskan harta benda kepada mereka, sebab harta akan habis, rumah batu pasti rusak, tetapi ilmu pengetahuan dan ketrampilan adalah modal luar biasa, yang dapat memberdayakan anak-cucu kita di kemudian hari untuk bersaing demi mengangkat harkat dan martabat Oirata kearah yang lebih baik.

Oirata juga memiliki orang- orang yang punya Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Kita patut membanggakan dua orang intelektual muda Oirata, masing-masing Prof. Dr. Roy Ratumanan, yang saat ini menjadi Staf Pengajar di UNPATI Ambon dan Yesayas Londingkene, MP, Staf Pengajar di UNDANA Kupang. Tanpa mengabaikan putra-putri Oirata lainnya yang malang-melintang di bidangnya masing-masing di berbagai daerah di Indonesia, penulis menunjuk dua putra Oirata itu sebagai bukti nyata bahwa Oirata tidak miskin sumber daya manusia yang berkualitas.

Penulis memastikan bahwa bukan manusia Oirata-nya yang terkebelakang, bukan juga IQ orang Oirata yang tergolong rendah, tetapi ada faktor lain yang menjadi penyebabnya, yakni paradigma dan pola pikir masyarakat Oirata yang keliru. Menarik untuk dijadikan indikator (petunjuk) bahwa Roy Ratumanan dan Yesayas Londingkene adalah putra- putra Oirata yang lahir dan besar di luar Oirata. Seandainya mereka lahir dan besar di Oirata, kemungkinan mereka akan bernasib sama seperti putra- putrid Oirata lainnya. Ini menunjukkan bahwa kekeliruannya tidak terletak pada sumber daya manusianya tetapi pada Sistem dan pengelolaannya. Harus disadari bersama oleh seluruh lapisan masyarakat  Oirata tentang kekeliruan ini, sehingga perlu ada koreksi dan perbaikan agar usaha mengembangkan sumber daya manusia Oirata dapat membuahkan hasil maksimal sebagaimana yang  diharapkan.   

Penulis teringat akan kritik Gubernur Timor Timur Ir. Mario Viegas Carascalao, kepada pemerintah Republik Indonesia, ketika gejolak sosial mulai merebak di wilayah itu pada tahun 1990-an. Menurut Carascalao, pemerintah Republik Indonesia melakukan kesalahan prioritas pembangunan di Timor Timur saat itu, yakni lebih mengutamakan pembangunan fisik dari pada pembangunan sumber daya manusianya, sehingga walaupun orang Timor Timur tinggal di rumah batu tetapi mental dan pola pikirnya masih seperti di rumah daun. Dan akibatnya, negara kita harus membayar mahal yakni kehilangan hak kedaulatannya atas Timor Timur.

Contoh di atas hanya sebagai bahan referensi sejarah yang bertujuan menyadarkan orang Oirata akan pentingnya membangun manusia Oirata yang berkualitas di masa skarang dan masa yang akan datang. Sebab tanpa disadari kekeliruan yang sama juga terjadi di Oirata pada saat ini. Orang Oirata berlomba-lomba membangun rumah batu, tetapi pendidikan anak-anak diabaikan. Pelihara babi, domba dan kambing sebagai modal untuk membangun rumah batu, tetapi untuk menyekolahkan anak itu soal nomor kedua bahkan ketiga. Yang pasti Oirata akan membayar mahal kekeliruan ini di masa yang akan datang, terutama resiko- resiku di bidang sosial- budaya .

Mari buka mata dan buka hati, bersama- sama melihat kenyataan skarang bahwa Oirata saat ini jika dibandingkan dengan desa lainnya di pulau Kisar sangat tertinggal dalam aspek pembangunan Sumber Daya Manusianya. Nampak bahwa Oirata maju dalam pembangunan fisik, tetapi pembangunan sumber daya manusia kurang mendapatkan perhatian sehingga mundur beberapa tingkat dibawah desa lain. Berbeda dengan desa lain di pulau Kisar, mereka tidak ketinggalan dalam pembangunan fisik dan sangat maju dalam pembangunan peningkatan Sumber Daya Manusianya. Keadaan dan kenyataan ini pasti sangat tidak menguntungkan bagi posisi masyarakat Oirata dalam berbagai aspek kehidupan dalam beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, orang Oirata sudah harus bangkit untuk mengejar ketertinggalannya. Orang Oirata perlu memberikan perhatian yang sangat serius kepada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama untuk generasi yang akan datang.

Akhirnya, penulis hendak mengemukakan dua hal sebagai ajakan. (1) Mari berkontempelasi, merenung dan menyadari arti yang terkandung di dalam hubungan antara Oirata Dulu dengan Oirata Skarang. (2) Kontempelasi dan perenungan kita harus melahirkan refleksi, berupa konsep dan rencana atau kerangka acuan (action plan) yang jelas, mengenai bagaimana wujud dari Oirata di masa datang. Seluruh potensi dan elemen masyarakat Oirata harus melakukan hal ini bersama-sama. Penulis mengusulkan dibentuknya sebuah Lembaga seperti Yayasan yang secara khusus berkonsentrasi membangun sumber daya manusia orang Oirata. Lembaga tersebut baiknya didukung oleh seluruh elemen masyarakat Oirata sehingga usaha pengembangan sumber daya manusia yang dikerjakan oleh lembaga tersebut akan menjadi wujud dari usaha bersama seluruh masyarakat Oirata.                

Perlu disadari bahwa suatu generasi masa depan yang berkualitas takkan mungkin seperti sebuah benda berharga yang jatuh dari langit atau terjadi dengan begitu saja. Hal itu harus diusahakan dan diperjuangkan dengan serius dan kesungguhan hati karena tidak semudah membalik telapak tangan. Ia membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Pepatah “Berakit-rakit ke Hulu, Berenang-renang ke Tepian” adalah kalimat yang relevan untuk hal ini. Ibarat petani yang harus menggarap tanahnya dan menabur dengan linangan air mata terlebih dahulu, untuk kemudian menuai dengan bersorak-sorai (Mazm.126:5-6).

Rabu, 26 Disember 2012

Rumah Adat Orang Oirata


1.      Makna Rumah Adat “Leopo” dan “Lakhoun”
Bangunan Rumah Adat "Leopo" dan "Lakhoun", di samping sebagai bangunan tempat tinggal dimana kegiatan sehari-hari penghuninya berlangsung, rumah adat adalah tempat berlangsungnya upacara-upacara dalam siklus hidup anggota mata rumah, seperti perkawinan, anak usia empat puluh hari, dan kematian. Rumah ini juga adalah tempat menyelesaikan masalah-masalah adat lainnya, seperti penyelesaian-penyelesaian adat akibat pelanggaran (denda adat).
Makna lain dari Leopo dan lakhoun adalah merupakan identitas sebagai salah satu diantara beragam suku bangsa di Indonesia, dan juga sebagai gambaran tentang manusia yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.
Secara fisik, simbolik, dan personifikasi, rumah adat sebagai tempat berkumpulnya kerabat, menyatuhkan anggota mata rumah, baik yang masih hidup maupun leluhur yang sudah meninggal, melindungi penghuninya dari bahaya-bahaya yang dapat mengganggu, ditunjukan dengan sayap rumah yang menutup pada malam hari, disamping melindungi penghuninya dalam mencari nafkah.
Rumah adat orang oirata terdiri dari sepasang atau dua, yaitu rumah perempuan yang disebut (leopo) dan rumah laki-laki yang disebut (lakhoun), menyimbolkan konsep mono-dualisme masyarakat oirata, dimana satu elemen tidak bisa dipisahkan dari elemen yang lain, keduannya menyatuh.
Menurut pandangan seorang bapak yang dikaitkan dengan kehidupan keagamaan, bahwa rumah adat orang oirata dibuat dua buah, saling berhadapan, dan memiliki kesamaan ukuran karena, Tuhan menciptakan manusia dua jenis yaitu laki-laki dan perempun, suami istri harus hidup berdampingan, dan memiliki kesamaan karena laki-laki dan perempuan  sama di hadapan Tuhan atau Pencipta. Begitupun dengan rumah adat orang oirata. (pandangan bapak Yosep Kamanasa).
Leopo sebagai tempat upacara dan penyembahan kepada leluhur dan supernatural menyimbolkan atau mewakili dunia sakral, sedangkan lakhoun sebagai tempat perundingan menyimbolkan dan mewakili dunia profane. Demikian juga bagian-bagian dari masing-masing rumah. Di dalam leopo terdapat bagian-bagian ruangan yang mewakili dunia sakral dan profan, mewakili dunia atas dan dunia bawah, dunia manusia dan dunia leluhur/supernatural, bumi (tanah) dan langit. Dapat diinterprestasikan, tangga untuk naik ke loteng atau leiya merupakan penghubung dua dunia dan sekaigus penyeimbang.
Dengan demikin, rumah adat orang oirata menggambarkan kosmologi orang oirata. Sistem kepercayaan mereka terhadap alam semesta dan suatu totalitas hubungan antara mereka (masyarakat) dengan dunia supernatural (termasuk roh-roh leluhur) dan dengan lingkungan sekitar mereka hidup, baik lingkungan fisik maupun sosial.
Dan juga kalau dikaitkan dengan agama Kristen, bahwa rumah adat orang oirata ini mempunyai keunikan tersendiri, yaitu rumah adat ini di ibaratkan bagaikan kemah “Tabernakel” umat Israel. Karena, ada bagian-bagian yang bisa di tempati oleh semua orang, dan juga ada bagian-bagian yang hanya dikhususkan untuk para imam atau tua-tua adat. Atau yang juga biasa di sebut dengan sebutan “Bilik Kudus” yang terdapat di lepanu dan ada juga “Bilik Maha Kudus” yang juga terdapat di leiya/loteng pada leopo atau rumah perempuan. (pandangan bapak Yosua Serain).

2.      Bentuk Rumah Adat
Menurut para tetua adat, bentuk rumah adat ini sudah ada sejak para leluhur atau moyang pertama yang menduduki pulau kisar ini. Yang merupakan moyang pertama orang oirata yang mendiami atau menduduki tanah pulau Kisar adalah moyang dari Soa Hanoo. Dan juga diikuti dengan moyang-moyang dari soa-soa yang lain yang berdatangan dari tanah asal mereka di berbagai penjuru. Ada yang datang dari Timor leste, dari Kei, dari Luang Sermatang, dan sebagainya. Mereka berdatangan di Pulau Kisar karena, menurut pendapat tetua adat bahwa, moyang dari Soa Hanoo ini awalnya hidup sendirian di pulau Kisar, sehingga mereka berdoa semoga ada pendatang baru yang bahasanya sama, adat-istiadatnya sama, dan mempunyai kesamaan struktur yang lain.
Pada akhirnya, doa mereka di terima Tuhan sehingga moyang dari soa-soa yang lain mulai berdatangan dan diterimah dengan baik oleh moyang dari soa hanoo untuk hidup bersama-sama sehingga membentuk suatu masyarakat yang memang betul-betul berbahasa dan beradat-istiadat yang sama yaitu bahasa oirata dengan adat istiadatnya, sedangkan yang bahasa dan adat-istiadatnya tidak sama, dipisahkan dan diberikan tempat di bagian utara dan sebagiannya di bagian barat yang bersebelahan dengan Desa oirata pulau kisar, yang disebut suku Meher dengan bahasanya yaitu bahasa Meher dengan adat-istiadatnya tersendiri.
Setelah soa-soa yang lain berdatangan di pulau kisar dan diterimah oleh moyang dari soa hanoo, selanjutnya mereka dibagi atau diberikan dua tempat pemukiman yaitu  sebelah barat yang merupakan Desa oirata barat atau “Mauhara” dan yang lainnya hidup bersama dengan moyang dari Soa Hanoo di tempat pemukimannya yaitu sebelah timur yang merupakan Desa Oirata Timur atau juga disebut “Manheri”.
Pagar Batu
 
Sejak dulu warga masyarakat Desa Oirata timur dan barat atau yang biasanya akrab dipanggil dengan sebutan “Manheri Mauhara” ini mendiami atau menghuni satu tempat di peggunungan atau perbukitan yang biasa disebut dengan “Negeri Lama”. Bentuk rumah di Negeri Lama mempunyai kesamaan tetapi, masyarakat ini membagun rumah dalam satu kelompok dan hidup saling berdampingan atau berdekatan satu sama lain, dan yang hanya di pagari oleh susunan batu-batu karang dan yang merupakan pagar tembok. Seperti terlihat pada gambar 1, yang menggambarkan suasana bangunan Rumah Adat pada zaman dahulu, yang pada umumnya masyarakat Desa Oirata masih mendiami negeri lama, yang kini tinggal puing-puing atau bekas susunan bebatuan yang dijadikan tembok rumah maupun pagar yang terbuat dari batu.
 







                                            
Gambar 01: Bangunan Rumah Adat di Negeri Lama
Suber: Hasil Penelitian 2012

Tetapi Oleh karena tuntutan hidup, marsyarakat ini mulai turun dari pegunungan untuk mencari nafkah dan lebih memilih menetap di bawah, dan membentuk satu kelompok baru atau hidup menyebar sesuai dengan lokasi lahan pertaniannya masing-masing yang diserahkan atau diberikan oleh moyang soa hanoo yang merupakan tuan tanah pulau kisar. Mereka mulai hidup berpencar karena bangunan rumah yang ada terdapat pada lahan pertaniannya masing-masing, sehingga jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya berjauhan satu sama lain.
Bentuk rumah masyarakat Desa Oirata pada zaman dahulu mempunyai kesamaan satu sama yang lain sesuai dengan tipe atau motif rumah adat di tempat pemukiman yang lama. Bentuk rumah adat ini dimiliki oleh semua masyarakat atau mata rumah, tetapi yang merupakan rumah tua atau rumah adat itu dimiliki hanya oleh tua-tua adat dalam mata rumah masing-masing. Karena pada saat melakukan ritual adat, hanya di rumah tua atau rumah adat dalam mata rumah tersebut.
Bentuk rumah adat masyarakat oirata terdiri dari dua bangunan yaitu bangunan untuk perempuan atau disebut dengan “leopo” dan bangunan untuk laki-laki yaitu “lakhoun”.

                I.            LEOPO
Leopo yang disebut rumah perempuan berdiri di atas susunan batu pipih atau batu karang yang merupakan fondasi rumah kurang lebih setengah meter. Tiang-tiang yang membentuk bangunan ini dilandasi dengan batu yang pipih atau datar. Bangunan berlantai tanah. Dinding di atas fondasi terdiri dari susunan batu pipih yang direkatkan dengan tanah liat setinggih ± 70 cm. di atas dinding batu, didirikan dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya disebut oleh orang Oirata ialah (Reken). Ada pula dinding bangunan ini yang terbuat dari anyaman daun lontar (koli). Sambungan-sambungan kayu dan tiang mempergunakan pasak kayu. Sedangkan ikatan-ikatan pada tiang dan kayu-kayu kerangka rumah terbuat dari bambu. Untuk ikatan atap, dipakai tulang daun koli yang disebut (kesir). Atap (tawar) bangunan ini terbuat dari anyaman daun lontar (koli), dengan tulang-tulang atap dari batang bambu (ete upur).
Luas denah lantai bangunan berukuran ± 6x4 meter, memanjang dari arah timur ke barat. Pada bagian timur, terdapat sebuah pintu yang biasanya disebut oleh masyarakat setempat (o’omana) selebar ± 75 cm dan sebuah jendela yang juga disebut (dauru) dengan ukuran lebar yang sama. Pada arah utara terdapat pula sebuah pintu dan jendela dengan ukuran yang sama. Bagian utara ini merupakan bagian depan rumah yang menghadap atau berhadapan dengan rumah laki-laki (Lakhoun).














Gambar 02: bagian depan (utara) dan bagian timur leopo
Sumber: Hasil Penelitian 2012
Denah dalam ruangan, yang dibentuk oleh atap atau bubungan yang berbentuk kerucut, secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian bawah, tengah, dan bagian atas. Bagian bawah yaitu bagian lantai terdapat dua degu-degu atau yang disebut dengan (la’u-la’u), berbentuk empat persegi panjang. Degu-degu (la’u-la’u) yang pertama terdapat pada bagian utara dimana terletak sebuah jendela. Degu-degu ini disebut La’u-la’u lapai (degu-degu besar). Panjang la’u-la’u lapai sekitar dua meter setengah. Pada saat pelaksanaan upacara perkawinan adat, misalnya acara terang kampong bagi sepasang pengantin baru, maka la’u-la’u lapai ini merupakan tempat duduk bagi mempelai pria didampingi oleh para wanita yang sudah menikah atau istri-astri dari para tua adat yang berperan. Dia atas la’u-la’u lapai ini para wanita yang sudah menikah menyiapkan sirih pinang. Tempat ini juga merupakan tempat kelahiran seorang bayi.

 




Gambar 03: degu-degu besar la’u-la’u lapai
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Degu-degu yang ke dua terletak di sebelah timur dimana terletak jendela di atas degu-degu (la’u-la’u) tersebut. Degu-degu di bagian timur ini namanya “lepanu la’u-la’u” yang juga merupakan  “bilik kudus”. Karena tempat ini hanya dikhususkan untuk orang-orang yang tertentu, dan tidak bisa sembarangan orang masuk atau melewati area ini. Jika aturan ini diabaikan atau dilanggar, berarti ada musibah yang harus di terima oleh si pelanggar. Bilik kudus ini merupakan tempat tua-tua adat laki-laki  (ahanawar) mempersiapkan material adat untuk pelaksanaan kegiatan ritual adat nantinya di loteng (le-iya). Material adat  ini berupa sebuah Nyiru yang berisi sepasang pakaian adat seperti kain tenun (kain tana) dan baju hitam, satu ples sopi, dan tempat sirih pinang.
 




Gambar 04: degu-degu di bagian timur (lepanu la’u-la’u)
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Di dalam ruangan terdapat sebuah tangga (ker) yang terbuat dari kayu yang ditopang oleh dua buah batu sebagai fondasi. Tangga (ker) ini berfungsi untuk naik ke ruangan tengah yang di sebut loteng atau (le-iya) dan para-para di bagian atas atau yang disebut domorakan. Tangga kayu ini memiliki anak tangga yang berjumlah ganjil, yaitu lima kayu injakan. Biasanya anak tangga bagian tengah dipasang longgar. Hal ini bermakna untuk menjaga keseimbangan (dalam rumah maupun dalam mata rumah).








 




Gambar 05: tangga (ker)
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Dibagian tengah dari rumah adat ini terdapat sebuah loteng atau le-iya yang dibangun sepanjang lebar ruangan. Loteng atau le-iya ini terletak di sebelah timur ruangan. Lantainya terbuat dari anyaman bambu (ara). Dindingnya dari kayu/papan koli. Di le-iya tersimpan peralatan masak, seperti belanga-belanga, tempayang dan tungku atau yang biasa di sebut dengan istilah (irahu adalapur) dan piring dari tanah liat (uma dau) dalam beberapa ukuran sebagai peralatan untuk persembahan. Peralatan masak ini disimpan dalam solor, yaitu sebuah loteng kecil (para-para) di le-iya. Tersedia juga kayu bakar dan tungku (adalapur) di le-iya untuk memasak. Di le-iya juga terdapat rak yang disebut rakantapmodo yang menempel pada bagian setinggi dari bubungan rumah atau manumata (panu). Di atas rakantapmodo timur ini peralatan masak disusun, dan persembahan untuk supernatural diletakan. Dalam upacara-upacara adat, di leiya disiapkan makanan oleh tua-tua adat (laki-laki) untuk disajikan sebagai persembahan. Di leiya, biasanya disimpan pula benda-benda adat, seperti pedang/loor patun, mas, dan lain sebagainya. Sehingga di leiya ini disebut sebagai “Bilik Maha Kudus”. Bilik maha kudus ini merupakan tempat meletakan penyembahan terakhir untuk supernatural. Bilik ini tidak boleh dinaiki oleh perempuan, karena dipercaya akibatnya adalah si perempuan tidak akan memiliki keturunan di samping dapat terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Persembahan yang di letakan di bilik maha kudus (leiya) di letakan di tempat persembahan yang disebut dengan lokor-lokor yang terbuat dari anyaman daun koli dan daun kelapa. Lokor-lokor berisi persembahan ini kemudian di gantung di bagian manumata rumah.

















 




Gambar 06: peralatan penyembahan di leiya
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Sejajar dengan le-iya (loteng), terdapat sebuah dego-dego atas yang terletak di sebelah barat (menempel di sisi selatan). Dego-dego ini disebut dengan istilah kodo yang berfungsi sebagai tempat meletakan persembahan dari wanita yang belum menikah.
 






Gambar 07: Kodo
Sumber : Hasil Penelitian 2012
Sedangkan bagian atas yang biasanya disebut Oleh orang Oirata yaitu tawar (atap), sarun (kaso), etenaalowai (lariang).
Tiang-tiang yang menopang rumah Leopo tegak lurus dari lantai sampai menopang atap bubungan yang berjumlah empat buah yaitu, tiang yang berada di sisi timur yang berdekatan dengan lepanu merupakan tiang pertama atau juga disebut hunaitutu 1, tiang yang berada dekat tangga merupakan tiang ke dua atau juga disebut hunaitutu 2, tiang yang sejajar dengan lau-lau lapai di sebelah utara merupakan tiang ke tiga (hunaitutu 3), sedangkan tiang yang berada di sisi barat merupakan tiang ke empat atau juga disebut dengan hunaitutu 4. Tiang ke tiga dan ke empat ini juga merupakan tiang penopang untuk lau-lau lapai. Dan ada juga tiang-tiang yang merupakan tiang penopang balai-balai di lantai bawah atau yang disebut lepanu maupun balai-balai di bagian tengah atau juga yang disebut loteng (leiya). Satu tiang yang berada di sudut utara bagian timur atau lepanu merupakan tiang bermula atau juga disebut (Lohonka). Tiang ini merupakan tiang awal dalam pendirian rumah tersebut.



 




Rumah leopo yang bubungannya (huina) berbentuk kerucut, mempunyai dua manumata (panu) yaitu, manumata timur (pantimur) dan manumata barat (panwarat).
Sebagai rumah dalam sebuah mata rumah, kontruksi leopo dilengkapi dengan “sayap” di bagian sisi rumah, yaitu sepanjang sisi timur dan utara dimana terdapat pintu dan jendela yang tidak berdaun atau tidak ada sesuatu yang menutupi ke dua pintu ini. Lembaran sayap-sayap ini dibuat dari anyaman daun koli, dijahit pada bambu yang menyambung dari atap. Seperti sayap unggas, sayap-sayap rumah ini bisa menutup dan membuka. Sebagai engselnya adalah ikatan pada bambu yang menyambungnya pada ujung atap. Lembaran sayap-sayap ini pada siang hari ada pada posisi horizontal (membuka), disanggah oleh tonggak-tonggak kayu. Dan pada malam hari berda pada posisi vertikal (menutup) setelah kayu-kayu penyanggahnya dilepaskan. Sayap-sayap ini juga biasa disebut dengan oomana (pintu) sebab berfungsi sebagai pintu yang dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari, menutup lubang atau ambang-ambang pintu dan jendela rumah yang tidak berdaun.
Fungsi sayap-sayap rumah adat orang oirata yang membuka dan menutup ini menunjukan makna dari fungsi rumah adat sebagai rumah dalam mata rumah yang bagaikan seekor induk ayam yang melindungi anak-anaknya pada malam hari, terlindung dari gangguan mahkluk-mahkluk atau roh-roh jahat. Sedangkan pada siang hari membuka untuk melepaskan anak-anaknya keluar mencari makan, seperti terlihat pada gambar 11.

             II.            LAKHOUN
Lakhoun sebagai pasangan leopo, merupakan rumah laki-laki. Lakhoun berdampingan dengan leopo, dan sama dengan leopo, dibangun memanjang dari arah timur ke barat, kurang lebih sepanjang leopo. Bagian selatan yang berhadapan dengan leopo merupakan bagian depan lakhoun. Sama seperti leopo, lakhoun didirikan di atas susunan batu pipih atau batu karang yang merupakan fondasi rumah kurang lebih setengah meter.
Kontruksi bangunan lakhoun lebih sederhana daripada leopo. Bangunan lakhoun berupa bangunan empat persegi panjang yang berlantai tanah dan agak berbeda daripada leopo. Karena lantai di bawah degu-degu/lau-lau lakhoun digali agak kedalam kurang lebih setengah meter. Menurut tetua adat bahwa ini berfungsi jika ada seorang bayi dalam mata rumah meninggal, tempat ini dijadikan kuburan untuk anak-anak.




 



Gambar 09: Bangunan Lakhoun
Sumber : Hasil Penelitian 2012
Bangunan ini didirikan di atas tiang-tiang penunjang berbentuk balok-balok bersegi empat (berbentuk panggung). Tiang-tiang utama yang sekaligus menopang seluruh bangunan lakhoun berjumlah dua belas buah. Bangunan empat persegi panjang ini terbuka bagian sisi panjang yaitu sisi utara dan selatan, dinding hanya terdapat pada ke dua sisi timur dan barat. Dinding terbuat dari anyaman daun koli atau anyaman bambu atau yang biasa disebut juga dengan istilah reken. Jadi hanya terdapat satu ruangan di lakhoun, yang berupa balai-balai/degu-degu (lau-lau). Biasanya pada bagian luar kedua sisi yang berdinding (sisi timur dan barat), difungsikan sebagai dapur.
Ruangan pada lakhoun yang hanya satu ruang berbentuk degu-degu atau disebut masyarakat setempat dengan istilah lau-lau (la’u-la’u). pada lau-lau duduk para laki-laki untuk merundingkan hal-hal yang berkaitan dengan adat dan upacara adat. Jadi lakhoun adalah tempat perundingan, sedangkan leopo adalah tempat upacara atau penyembahan kepada supernatural.
Sama dengan leopo, lakhoun juga memiliki “sayap” (o’omanai) yang dibuka pada siang hari dan di tutup pada malam hari, seperti terlihat pada gambar 11. Sayap lakhoun terdapat pada keempat sisi rumah. Makna dari sayap ini sama seperti leopo, yaitu melindungi penghuninya dari gangguan mahkluk-mahkluk atau roh-roh pada waktu malam, dan membiarkan penghuninya keluar pada siang hari untuk mencari hidup.

3.      Peranan Rumah Adat
Adat istiadat pada desa Oirata kabupaten Maluku Barat Daya masih mempertahankan budayanya walaupun ditengah-tengah pengaruh gloibalisasi  yang gencar pada masa kini. Rumah adat orang Orata (leopo dan lakhoun) merupakan salah satu bentuk budaya orang Orata yang mengambarkan kosmologi dan keseluruhan kehidupan masyarakat Desa Oirata. walaupun demikian, kebudayaan itu tidak pernah statis. misalnya pada Desa Oirata Barat, rumah adat leopo dan lakhoun tidak ada lagi, kalaupun ada, telah mengalami modifikasi. tetapi, sisa-sisa rumah adat tersebut masih dapat ditemukan. lain halnya dengan Desa Oirata Timur, ada mata rumah yang hingga kini masih memelihara rumah adat mereka (leopo dan lakhoun).  menurut para tua-tua adat peranan rumah adat tidak boleh dihilangkan. karena rumah adat leopo dan lakhoun selain perannya untuk tempat tinggal, leopo dan lakhoun berperan juga sebagai tempat upacara adat (spiritual) yang berhubungan dengan leluhur-leluhur mereka. Dan merupakan peninggalan dari leluhur-leluhur. Oleh sebab itu, mata rumah-mata rumah tertentu, masih tetap mempertahankan kebudayaan ini (rumah adat leopo dan lakhoun).

4.      Fungsi Rumah Adat
Fungsi dari rumah adat leopo dan Lakhoun selain sebagai tempat tinggal, Leopo dan Lakhoun, berfungsi juga sebagai berikut; Leopo berfungsi  seperti museum,  dimana  Leopo sebagai tempat penyimpanan berbagai benda pusaka peninggalan leluhur yang dianggap sakral karena bernilai budaya, misalnya emas, pedang, belanga dan piring yang dibuat dari tanah, dan lain sebagainya. Leopo juga berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan sakral, misalnya doa adat untuk penerimaan anggota keluarga yang baru, bertalian dengan kawin adat.
Sedangkan rumah adat Lakhoun merupakan pasangan dari rumah adat Leopo yang berfungsi juga sebagai tempat diadakannya musyawarah mufakat oleh para tua-tua adat untuk melangsungkan upacara-upacara adat.
Dengan demikian, rumah adat Lakhoun, sebagai tempat perundingan, dan rumah adat Leopo, sebagai tempat upacara atau penyembah supernatural, dan penyelenggaraan upacara-upacara adat lainnya.

5.      Manfaat Rumah Adat
Pada dasarnya, rumah sangat bermanfaat bagi seluruh anggota mata rumah tersebut. selain melindungi dan menjaga anggota mata rumah. Rumah adat Leopo dan Lakhoun. juga sangat bermanfaat , kedua rumah adat tersebut sekaligus sebagai museum dan juga tempat penginapan atau tempat tinggal bagi keluarga mata rumah yang menghuninya. Kedua rumah adat ini sangat bermanfaat untuk tempat pertemuan bagi keluarga besar, terkait secara darah daging pada saat melakukan suatu acara upacara ritual adat, dan bermanfaat bagi roh-roh leluhur dari mata rumah tersebut. selain itu kedua rumah adat ini memiliki sayap yang dapat dibuka pada siang hari, dan ditutup pada malam hari, fungsi sayap tersebut, yaitu untuk melindungi penghuninya dari ancaman roh-roh jahat pada malam hari.

6.      Arsitektur Rumah Adat
Cultural Geography menelaah aneka bentuk karya manusia di permukaan bumi sebagai hasil perilakunya (cipta, rasa, karsa) atas dasar kemampuan mengadaptasi lingkungan alam, manusia dan sosial disekitarnya (kewilayahan). Geografi budaya juga mengkaji tentang berbagai faktor geografis yang ikut menentukan terbentuknya kebudayaan disuatu daerah dan keanekaragaman kebudayaan disuatu daerah.  Desa Oirata terletak pada wilayah Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya, memiliki iklim tropis, daerah ini sebagian besar berbatu dan deselingi padang sabana dan pepohonan sehingga terkesan daerah ini kering dan tandus. Bentuk permukiman desa ini berpola menyebar, dimana rumah-rumah penduduk terletak berjauhan karena setiap rumah dikelilingi oleh tanaman pertanian (kebun). Oleh sebab itu, sangat berpengaruh terhadap bentuk arsitektur warga setempat. Bentuk rumah adat orang Oirata sebagian besar, bentuknya sama. 
Rumah adat orang Oirata (Leopo dan Lakhoun) sebagian besar bentuk dan arsitekturnya sama, karena merupakan teknik arsitektur yang berpedoman pada bentuk tradisional, yang telah diwariskan dari nenek moyang masyarakat setempat, sampai sekarang. Rumah adat Leopo dan Lakhoun merupakan sebuah mata rumah yang didirikan secara bersama-sama oleh anggota-anggota mata rumah yang bersangkutan secara bersama-sama. Setelah anggota mata rumah (tuan rumah = leowaya) berunding untuk mendirikan rumah adat, maka ditentukanlah bas rumah (sonleren) atau “tuan batas” / “tuan tali sifat” yang akan memimpin pembangunan rumah. Bas rumah adalah orang yang mempunyai keahlian untuk menghitung dan menentukan ukuran-ukuran bagian-bagian rumah. Tuan tali sifat biasanya dimiliki oleh masing-masing. Ia disebut “tuan tali sifat” sebab tali adalah alat ukur yang dipakai dalam pembangunan rumah adat, berupa bambu belah berukuran lebar ± 3 cm. Setelah pembangunan rumah adat selesai, biasanya tali sifat ditinggalkan di rumah tersebut, yaitu disisipkan di bubungan, memanjang. Tali sifat untuk sebuah rumah harus disimpan di rumah yang bersangkutan sebab ia dibuat untuk rumah itu, sehingga karenanya ia menyatu dengan rumah itu, merupakan bagian dari rumah tersebut. Ia tidak boleh dipakai untuk pembangunan rumah lain atau dikeluarkan dari rumah itu atau dipindahkan ke rumah lain, sebab bila hal ini terjadi maka akan membawa celaka pada rumah dan anggota rumah adat pemiliknya.
Setelah bas rumah ditentukan, bas lalu mulai melakukan perhitungan (kotika) mengikuti perhitungan bulan Cina. Untuk membangun rumah adat, salah satu hal yang terpenting adalah mendirikan tiang bermula (tut’ka) yaitu tiang pertama. Tiang ini terletak di sebelah timur (di antara kedua sayap). Menurut kotika, waktu yang baik untuk mengambil batang pohon koli untuk tiang pertama dan tiang-tiang lainnya adalah pada “bulan kecil” (bulan hilang, bulan gelap, bulan mati), karena kayu yang ditebang pada masa itu akan kuat, tidak mudah dimakan rayap. Tiang bermula didirikan pada waktu subuh antara pukul 05.00 – 05.30.

Rumah perempuan (Leopo) didirikan lebih dahulu, baru kemudian Lakhoun. Pintu (oomana) di sebelah utara yang menghadap Lakhoun dibangun sekitar satu minggu, namun ini tergantung dari tenaga kerja. Setelah kedua rumah selesai didirikan, dilakukan peresmian rumah. Dalam peresmian rumah ini, disiapkan sajian makanan. Dalam acara ini, tuan tali sifat menuturkan asal perkakas-perkakas pertukangan yang dipakai untuk mendirikan rumah (dahulu perkakas-perkakas itu ada yang terbuat dari tanah liat). Biasanya setelah pembangunan rumah, perkakas-perkakas rumah itu disimpan di Leiya (loteng).







Gambar 10: Sketsa denah Rumah adat Orang Oirata
Yang menarik dari kontruksi rumah adat orang Oirata,yaitu kontruksinya dilengkapi dengan “sayap” di bagian sisi rumah, yaitu sepanjang sisi timur dan utara dimana terdapat pintu dan jendela yang tidak berdaun atau tidak ada sesuatu yang menutupi ke dua pintu ini. Lembaran sayap-sayap ini dibuat dari anyaman daun koli, dijahit pada bambu yang menyambung dari atap. Seperti sayap unggas, sayap-sayap rumah ini bisa menutup dan membuka. Sebagai engselnya adalah ikatan pada bambu yang menyambungnya pada ujung atap. Lembaran sayap-sayap ini pada siang hari ada pada posisi horizontal (membuka), disanggah oleh tonggak-tonggak kayu.






 





Gambar 11: Sayap rumah Adat
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Dan pada malam hari berda pada posisi vertikal (menutup) setelah kayu-kayu penyanggahnya dilepaskan. Sayap-sayap ini juga biasa disebut dengan oomana (pintu) sebab berfungsi sebagai pintu yang dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari. oleh sebab itu, rumah adat orang Oirata, berbeda dengan rumah adat pada desa-desa lain ataupun pada daerah-daerah lain, yang hanya menggunakan desain serta bahan-bahan yang sederhana, yang di ambil dari Pohon Koli (lontar) dan bambu. Alasan dari para leluhur menggunakan bahan-bahan sederhana ini karena, yang pertama, pada jaman dahulu masyarakat Desa Oirata belum mengenal bahan semen dan lain-lain, sedangkan yang ke dua, mereka menggunakan bahan-bahan yang sederhana, karena bahan-bahan tersebut sangat cocok dengan kondisi iklim yang ada di Pulau Kisar. Jadi, rumah Adat apapun bentuknya, dan apapun etnisnya, merupakan bagian dari sebuah budaya peninggalan para leluhur kita yang harus dilestarikan.