Rabu, 26 Disember 2012

Rumah Adat Orang Oirata


1.      Makna Rumah Adat “Leopo” dan “Lakhoun”
Bangunan Rumah Adat "Leopo" dan "Lakhoun", di samping sebagai bangunan tempat tinggal dimana kegiatan sehari-hari penghuninya berlangsung, rumah adat adalah tempat berlangsungnya upacara-upacara dalam siklus hidup anggota mata rumah, seperti perkawinan, anak usia empat puluh hari, dan kematian. Rumah ini juga adalah tempat menyelesaikan masalah-masalah adat lainnya, seperti penyelesaian-penyelesaian adat akibat pelanggaran (denda adat).
Makna lain dari Leopo dan lakhoun adalah merupakan identitas sebagai salah satu diantara beragam suku bangsa di Indonesia, dan juga sebagai gambaran tentang manusia yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.
Secara fisik, simbolik, dan personifikasi, rumah adat sebagai tempat berkumpulnya kerabat, menyatuhkan anggota mata rumah, baik yang masih hidup maupun leluhur yang sudah meninggal, melindungi penghuninya dari bahaya-bahaya yang dapat mengganggu, ditunjukan dengan sayap rumah yang menutup pada malam hari, disamping melindungi penghuninya dalam mencari nafkah.
Rumah adat orang oirata terdiri dari sepasang atau dua, yaitu rumah perempuan yang disebut (leopo) dan rumah laki-laki yang disebut (lakhoun), menyimbolkan konsep mono-dualisme masyarakat oirata, dimana satu elemen tidak bisa dipisahkan dari elemen yang lain, keduannya menyatuh.
Menurut pandangan seorang bapak yang dikaitkan dengan kehidupan keagamaan, bahwa rumah adat orang oirata dibuat dua buah, saling berhadapan, dan memiliki kesamaan ukuran karena, Tuhan menciptakan manusia dua jenis yaitu laki-laki dan perempun, suami istri harus hidup berdampingan, dan memiliki kesamaan karena laki-laki dan perempuan  sama di hadapan Tuhan atau Pencipta. Begitupun dengan rumah adat orang oirata. (pandangan bapak Yosep Kamanasa).
Leopo sebagai tempat upacara dan penyembahan kepada leluhur dan supernatural menyimbolkan atau mewakili dunia sakral, sedangkan lakhoun sebagai tempat perundingan menyimbolkan dan mewakili dunia profane. Demikian juga bagian-bagian dari masing-masing rumah. Di dalam leopo terdapat bagian-bagian ruangan yang mewakili dunia sakral dan profan, mewakili dunia atas dan dunia bawah, dunia manusia dan dunia leluhur/supernatural, bumi (tanah) dan langit. Dapat diinterprestasikan, tangga untuk naik ke loteng atau leiya merupakan penghubung dua dunia dan sekaigus penyeimbang.
Dengan demikin, rumah adat orang oirata menggambarkan kosmologi orang oirata. Sistem kepercayaan mereka terhadap alam semesta dan suatu totalitas hubungan antara mereka (masyarakat) dengan dunia supernatural (termasuk roh-roh leluhur) dan dengan lingkungan sekitar mereka hidup, baik lingkungan fisik maupun sosial.
Dan juga kalau dikaitkan dengan agama Kristen, bahwa rumah adat orang oirata ini mempunyai keunikan tersendiri, yaitu rumah adat ini di ibaratkan bagaikan kemah “Tabernakel” umat Israel. Karena, ada bagian-bagian yang bisa di tempati oleh semua orang, dan juga ada bagian-bagian yang hanya dikhususkan untuk para imam atau tua-tua adat. Atau yang juga biasa di sebut dengan sebutan “Bilik Kudus” yang terdapat di lepanu dan ada juga “Bilik Maha Kudus” yang juga terdapat di leiya/loteng pada leopo atau rumah perempuan. (pandangan bapak Yosua Serain).

2.      Bentuk Rumah Adat
Menurut para tetua adat, bentuk rumah adat ini sudah ada sejak para leluhur atau moyang pertama yang menduduki pulau kisar ini. Yang merupakan moyang pertama orang oirata yang mendiami atau menduduki tanah pulau Kisar adalah moyang dari Soa Hanoo. Dan juga diikuti dengan moyang-moyang dari soa-soa yang lain yang berdatangan dari tanah asal mereka di berbagai penjuru. Ada yang datang dari Timor leste, dari Kei, dari Luang Sermatang, dan sebagainya. Mereka berdatangan di Pulau Kisar karena, menurut pendapat tetua adat bahwa, moyang dari Soa Hanoo ini awalnya hidup sendirian di pulau Kisar, sehingga mereka berdoa semoga ada pendatang baru yang bahasanya sama, adat-istiadatnya sama, dan mempunyai kesamaan struktur yang lain.
Pada akhirnya, doa mereka di terima Tuhan sehingga moyang dari soa-soa yang lain mulai berdatangan dan diterimah dengan baik oleh moyang dari soa hanoo untuk hidup bersama-sama sehingga membentuk suatu masyarakat yang memang betul-betul berbahasa dan beradat-istiadat yang sama yaitu bahasa oirata dengan adat istiadatnya, sedangkan yang bahasa dan adat-istiadatnya tidak sama, dipisahkan dan diberikan tempat di bagian utara dan sebagiannya di bagian barat yang bersebelahan dengan Desa oirata pulau kisar, yang disebut suku Meher dengan bahasanya yaitu bahasa Meher dengan adat-istiadatnya tersendiri.
Setelah soa-soa yang lain berdatangan di pulau kisar dan diterimah oleh moyang dari soa hanoo, selanjutnya mereka dibagi atau diberikan dua tempat pemukiman yaitu  sebelah barat yang merupakan Desa oirata barat atau “Mauhara” dan yang lainnya hidup bersama dengan moyang dari Soa Hanoo di tempat pemukimannya yaitu sebelah timur yang merupakan Desa Oirata Timur atau juga disebut “Manheri”.
Pagar Batu
 
Sejak dulu warga masyarakat Desa Oirata timur dan barat atau yang biasanya akrab dipanggil dengan sebutan “Manheri Mauhara” ini mendiami atau menghuni satu tempat di peggunungan atau perbukitan yang biasa disebut dengan “Negeri Lama”. Bentuk rumah di Negeri Lama mempunyai kesamaan tetapi, masyarakat ini membagun rumah dalam satu kelompok dan hidup saling berdampingan atau berdekatan satu sama lain, dan yang hanya di pagari oleh susunan batu-batu karang dan yang merupakan pagar tembok. Seperti terlihat pada gambar 1, yang menggambarkan suasana bangunan Rumah Adat pada zaman dahulu, yang pada umumnya masyarakat Desa Oirata masih mendiami negeri lama, yang kini tinggal puing-puing atau bekas susunan bebatuan yang dijadikan tembok rumah maupun pagar yang terbuat dari batu.
 







                                            
Gambar 01: Bangunan Rumah Adat di Negeri Lama
Suber: Hasil Penelitian 2012

Tetapi Oleh karena tuntutan hidup, marsyarakat ini mulai turun dari pegunungan untuk mencari nafkah dan lebih memilih menetap di bawah, dan membentuk satu kelompok baru atau hidup menyebar sesuai dengan lokasi lahan pertaniannya masing-masing yang diserahkan atau diberikan oleh moyang soa hanoo yang merupakan tuan tanah pulau kisar. Mereka mulai hidup berpencar karena bangunan rumah yang ada terdapat pada lahan pertaniannya masing-masing, sehingga jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya berjauhan satu sama lain.
Bentuk rumah masyarakat Desa Oirata pada zaman dahulu mempunyai kesamaan satu sama yang lain sesuai dengan tipe atau motif rumah adat di tempat pemukiman yang lama. Bentuk rumah adat ini dimiliki oleh semua masyarakat atau mata rumah, tetapi yang merupakan rumah tua atau rumah adat itu dimiliki hanya oleh tua-tua adat dalam mata rumah masing-masing. Karena pada saat melakukan ritual adat, hanya di rumah tua atau rumah adat dalam mata rumah tersebut.
Bentuk rumah adat masyarakat oirata terdiri dari dua bangunan yaitu bangunan untuk perempuan atau disebut dengan “leopo” dan bangunan untuk laki-laki yaitu “lakhoun”.

                I.            LEOPO
Leopo yang disebut rumah perempuan berdiri di atas susunan batu pipih atau batu karang yang merupakan fondasi rumah kurang lebih setengah meter. Tiang-tiang yang membentuk bangunan ini dilandasi dengan batu yang pipih atau datar. Bangunan berlantai tanah. Dinding di atas fondasi terdiri dari susunan batu pipih yang direkatkan dengan tanah liat setinggih ± 70 cm. di atas dinding batu, didirikan dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang biasanya disebut oleh orang Oirata ialah (Reken). Ada pula dinding bangunan ini yang terbuat dari anyaman daun lontar (koli). Sambungan-sambungan kayu dan tiang mempergunakan pasak kayu. Sedangkan ikatan-ikatan pada tiang dan kayu-kayu kerangka rumah terbuat dari bambu. Untuk ikatan atap, dipakai tulang daun koli yang disebut (kesir). Atap (tawar) bangunan ini terbuat dari anyaman daun lontar (koli), dengan tulang-tulang atap dari batang bambu (ete upur).
Luas denah lantai bangunan berukuran ± 6x4 meter, memanjang dari arah timur ke barat. Pada bagian timur, terdapat sebuah pintu yang biasanya disebut oleh masyarakat setempat (o’omana) selebar ± 75 cm dan sebuah jendela yang juga disebut (dauru) dengan ukuran lebar yang sama. Pada arah utara terdapat pula sebuah pintu dan jendela dengan ukuran yang sama. Bagian utara ini merupakan bagian depan rumah yang menghadap atau berhadapan dengan rumah laki-laki (Lakhoun).














Gambar 02: bagian depan (utara) dan bagian timur leopo
Sumber: Hasil Penelitian 2012
Denah dalam ruangan, yang dibentuk oleh atap atau bubungan yang berbentuk kerucut, secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian bawah, tengah, dan bagian atas. Bagian bawah yaitu bagian lantai terdapat dua degu-degu atau yang disebut dengan (la’u-la’u), berbentuk empat persegi panjang. Degu-degu (la’u-la’u) yang pertama terdapat pada bagian utara dimana terletak sebuah jendela. Degu-degu ini disebut La’u-la’u lapai (degu-degu besar). Panjang la’u-la’u lapai sekitar dua meter setengah. Pada saat pelaksanaan upacara perkawinan adat, misalnya acara terang kampong bagi sepasang pengantin baru, maka la’u-la’u lapai ini merupakan tempat duduk bagi mempelai pria didampingi oleh para wanita yang sudah menikah atau istri-astri dari para tua adat yang berperan. Dia atas la’u-la’u lapai ini para wanita yang sudah menikah menyiapkan sirih pinang. Tempat ini juga merupakan tempat kelahiran seorang bayi.

 




Gambar 03: degu-degu besar la’u-la’u lapai
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Degu-degu yang ke dua terletak di sebelah timur dimana terletak jendela di atas degu-degu (la’u-la’u) tersebut. Degu-degu di bagian timur ini namanya “lepanu la’u-la’u” yang juga merupakan  “bilik kudus”. Karena tempat ini hanya dikhususkan untuk orang-orang yang tertentu, dan tidak bisa sembarangan orang masuk atau melewati area ini. Jika aturan ini diabaikan atau dilanggar, berarti ada musibah yang harus di terima oleh si pelanggar. Bilik kudus ini merupakan tempat tua-tua adat laki-laki  (ahanawar) mempersiapkan material adat untuk pelaksanaan kegiatan ritual adat nantinya di loteng (le-iya). Material adat  ini berupa sebuah Nyiru yang berisi sepasang pakaian adat seperti kain tenun (kain tana) dan baju hitam, satu ples sopi, dan tempat sirih pinang.
 




Gambar 04: degu-degu di bagian timur (lepanu la’u-la’u)
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Di dalam ruangan terdapat sebuah tangga (ker) yang terbuat dari kayu yang ditopang oleh dua buah batu sebagai fondasi. Tangga (ker) ini berfungsi untuk naik ke ruangan tengah yang di sebut loteng atau (le-iya) dan para-para di bagian atas atau yang disebut domorakan. Tangga kayu ini memiliki anak tangga yang berjumlah ganjil, yaitu lima kayu injakan. Biasanya anak tangga bagian tengah dipasang longgar. Hal ini bermakna untuk menjaga keseimbangan (dalam rumah maupun dalam mata rumah).








 




Gambar 05: tangga (ker)
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Dibagian tengah dari rumah adat ini terdapat sebuah loteng atau le-iya yang dibangun sepanjang lebar ruangan. Loteng atau le-iya ini terletak di sebelah timur ruangan. Lantainya terbuat dari anyaman bambu (ara). Dindingnya dari kayu/papan koli. Di le-iya tersimpan peralatan masak, seperti belanga-belanga, tempayang dan tungku atau yang biasa di sebut dengan istilah (irahu adalapur) dan piring dari tanah liat (uma dau) dalam beberapa ukuran sebagai peralatan untuk persembahan. Peralatan masak ini disimpan dalam solor, yaitu sebuah loteng kecil (para-para) di le-iya. Tersedia juga kayu bakar dan tungku (adalapur) di le-iya untuk memasak. Di le-iya juga terdapat rak yang disebut rakantapmodo yang menempel pada bagian setinggi dari bubungan rumah atau manumata (panu). Di atas rakantapmodo timur ini peralatan masak disusun, dan persembahan untuk supernatural diletakan. Dalam upacara-upacara adat, di leiya disiapkan makanan oleh tua-tua adat (laki-laki) untuk disajikan sebagai persembahan. Di leiya, biasanya disimpan pula benda-benda adat, seperti pedang/loor patun, mas, dan lain sebagainya. Sehingga di leiya ini disebut sebagai “Bilik Maha Kudus”. Bilik maha kudus ini merupakan tempat meletakan penyembahan terakhir untuk supernatural. Bilik ini tidak boleh dinaiki oleh perempuan, karena dipercaya akibatnya adalah si perempuan tidak akan memiliki keturunan di samping dapat terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Persembahan yang di letakan di bilik maha kudus (leiya) di letakan di tempat persembahan yang disebut dengan lokor-lokor yang terbuat dari anyaman daun koli dan daun kelapa. Lokor-lokor berisi persembahan ini kemudian di gantung di bagian manumata rumah.

















 




Gambar 06: peralatan penyembahan di leiya
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Sejajar dengan le-iya (loteng), terdapat sebuah dego-dego atas yang terletak di sebelah barat (menempel di sisi selatan). Dego-dego ini disebut dengan istilah kodo yang berfungsi sebagai tempat meletakan persembahan dari wanita yang belum menikah.
 






Gambar 07: Kodo
Sumber : Hasil Penelitian 2012
Sedangkan bagian atas yang biasanya disebut Oleh orang Oirata yaitu tawar (atap), sarun (kaso), etenaalowai (lariang).
Tiang-tiang yang menopang rumah Leopo tegak lurus dari lantai sampai menopang atap bubungan yang berjumlah empat buah yaitu, tiang yang berada di sisi timur yang berdekatan dengan lepanu merupakan tiang pertama atau juga disebut hunaitutu 1, tiang yang berada dekat tangga merupakan tiang ke dua atau juga disebut hunaitutu 2, tiang yang sejajar dengan lau-lau lapai di sebelah utara merupakan tiang ke tiga (hunaitutu 3), sedangkan tiang yang berada di sisi barat merupakan tiang ke empat atau juga disebut dengan hunaitutu 4. Tiang ke tiga dan ke empat ini juga merupakan tiang penopang untuk lau-lau lapai. Dan ada juga tiang-tiang yang merupakan tiang penopang balai-balai di lantai bawah atau yang disebut lepanu maupun balai-balai di bagian tengah atau juga yang disebut loteng (leiya). Satu tiang yang berada di sudut utara bagian timur atau lepanu merupakan tiang bermula atau juga disebut (Lohonka). Tiang ini merupakan tiang awal dalam pendirian rumah tersebut.



 




Rumah leopo yang bubungannya (huina) berbentuk kerucut, mempunyai dua manumata (panu) yaitu, manumata timur (pantimur) dan manumata barat (panwarat).
Sebagai rumah dalam sebuah mata rumah, kontruksi leopo dilengkapi dengan “sayap” di bagian sisi rumah, yaitu sepanjang sisi timur dan utara dimana terdapat pintu dan jendela yang tidak berdaun atau tidak ada sesuatu yang menutupi ke dua pintu ini. Lembaran sayap-sayap ini dibuat dari anyaman daun koli, dijahit pada bambu yang menyambung dari atap. Seperti sayap unggas, sayap-sayap rumah ini bisa menutup dan membuka. Sebagai engselnya adalah ikatan pada bambu yang menyambungnya pada ujung atap. Lembaran sayap-sayap ini pada siang hari ada pada posisi horizontal (membuka), disanggah oleh tonggak-tonggak kayu. Dan pada malam hari berda pada posisi vertikal (menutup) setelah kayu-kayu penyanggahnya dilepaskan. Sayap-sayap ini juga biasa disebut dengan oomana (pintu) sebab berfungsi sebagai pintu yang dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari, menutup lubang atau ambang-ambang pintu dan jendela rumah yang tidak berdaun.
Fungsi sayap-sayap rumah adat orang oirata yang membuka dan menutup ini menunjukan makna dari fungsi rumah adat sebagai rumah dalam mata rumah yang bagaikan seekor induk ayam yang melindungi anak-anaknya pada malam hari, terlindung dari gangguan mahkluk-mahkluk atau roh-roh jahat. Sedangkan pada siang hari membuka untuk melepaskan anak-anaknya keluar mencari makan, seperti terlihat pada gambar 11.

             II.            LAKHOUN
Lakhoun sebagai pasangan leopo, merupakan rumah laki-laki. Lakhoun berdampingan dengan leopo, dan sama dengan leopo, dibangun memanjang dari arah timur ke barat, kurang lebih sepanjang leopo. Bagian selatan yang berhadapan dengan leopo merupakan bagian depan lakhoun. Sama seperti leopo, lakhoun didirikan di atas susunan batu pipih atau batu karang yang merupakan fondasi rumah kurang lebih setengah meter.
Kontruksi bangunan lakhoun lebih sederhana daripada leopo. Bangunan lakhoun berupa bangunan empat persegi panjang yang berlantai tanah dan agak berbeda daripada leopo. Karena lantai di bawah degu-degu/lau-lau lakhoun digali agak kedalam kurang lebih setengah meter. Menurut tetua adat bahwa ini berfungsi jika ada seorang bayi dalam mata rumah meninggal, tempat ini dijadikan kuburan untuk anak-anak.




 



Gambar 09: Bangunan Lakhoun
Sumber : Hasil Penelitian 2012
Bangunan ini didirikan di atas tiang-tiang penunjang berbentuk balok-balok bersegi empat (berbentuk panggung). Tiang-tiang utama yang sekaligus menopang seluruh bangunan lakhoun berjumlah dua belas buah. Bangunan empat persegi panjang ini terbuka bagian sisi panjang yaitu sisi utara dan selatan, dinding hanya terdapat pada ke dua sisi timur dan barat. Dinding terbuat dari anyaman daun koli atau anyaman bambu atau yang biasa disebut juga dengan istilah reken. Jadi hanya terdapat satu ruangan di lakhoun, yang berupa balai-balai/degu-degu (lau-lau). Biasanya pada bagian luar kedua sisi yang berdinding (sisi timur dan barat), difungsikan sebagai dapur.
Ruangan pada lakhoun yang hanya satu ruang berbentuk degu-degu atau disebut masyarakat setempat dengan istilah lau-lau (la’u-la’u). pada lau-lau duduk para laki-laki untuk merundingkan hal-hal yang berkaitan dengan adat dan upacara adat. Jadi lakhoun adalah tempat perundingan, sedangkan leopo adalah tempat upacara atau penyembahan kepada supernatural.
Sama dengan leopo, lakhoun juga memiliki “sayap” (o’omanai) yang dibuka pada siang hari dan di tutup pada malam hari, seperti terlihat pada gambar 11. Sayap lakhoun terdapat pada keempat sisi rumah. Makna dari sayap ini sama seperti leopo, yaitu melindungi penghuninya dari gangguan mahkluk-mahkluk atau roh-roh pada waktu malam, dan membiarkan penghuninya keluar pada siang hari untuk mencari hidup.

3.      Peranan Rumah Adat
Adat istiadat pada desa Oirata kabupaten Maluku Barat Daya masih mempertahankan budayanya walaupun ditengah-tengah pengaruh gloibalisasi  yang gencar pada masa kini. Rumah adat orang Orata (leopo dan lakhoun) merupakan salah satu bentuk budaya orang Orata yang mengambarkan kosmologi dan keseluruhan kehidupan masyarakat Desa Oirata. walaupun demikian, kebudayaan itu tidak pernah statis. misalnya pada Desa Oirata Barat, rumah adat leopo dan lakhoun tidak ada lagi, kalaupun ada, telah mengalami modifikasi. tetapi, sisa-sisa rumah adat tersebut masih dapat ditemukan. lain halnya dengan Desa Oirata Timur, ada mata rumah yang hingga kini masih memelihara rumah adat mereka (leopo dan lakhoun).  menurut para tua-tua adat peranan rumah adat tidak boleh dihilangkan. karena rumah adat leopo dan lakhoun selain perannya untuk tempat tinggal, leopo dan lakhoun berperan juga sebagai tempat upacara adat (spiritual) yang berhubungan dengan leluhur-leluhur mereka. Dan merupakan peninggalan dari leluhur-leluhur. Oleh sebab itu, mata rumah-mata rumah tertentu, masih tetap mempertahankan kebudayaan ini (rumah adat leopo dan lakhoun).

4.      Fungsi Rumah Adat
Fungsi dari rumah adat leopo dan Lakhoun selain sebagai tempat tinggal, Leopo dan Lakhoun, berfungsi juga sebagai berikut; Leopo berfungsi  seperti museum,  dimana  Leopo sebagai tempat penyimpanan berbagai benda pusaka peninggalan leluhur yang dianggap sakral karena bernilai budaya, misalnya emas, pedang, belanga dan piring yang dibuat dari tanah, dan lain sebagainya. Leopo juga berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan sakral, misalnya doa adat untuk penerimaan anggota keluarga yang baru, bertalian dengan kawin adat.
Sedangkan rumah adat Lakhoun merupakan pasangan dari rumah adat Leopo yang berfungsi juga sebagai tempat diadakannya musyawarah mufakat oleh para tua-tua adat untuk melangsungkan upacara-upacara adat.
Dengan demikian, rumah adat Lakhoun, sebagai tempat perundingan, dan rumah adat Leopo, sebagai tempat upacara atau penyembah supernatural, dan penyelenggaraan upacara-upacara adat lainnya.

5.      Manfaat Rumah Adat
Pada dasarnya, rumah sangat bermanfaat bagi seluruh anggota mata rumah tersebut. selain melindungi dan menjaga anggota mata rumah. Rumah adat Leopo dan Lakhoun. juga sangat bermanfaat , kedua rumah adat tersebut sekaligus sebagai museum dan juga tempat penginapan atau tempat tinggal bagi keluarga mata rumah yang menghuninya. Kedua rumah adat ini sangat bermanfaat untuk tempat pertemuan bagi keluarga besar, terkait secara darah daging pada saat melakukan suatu acara upacara ritual adat, dan bermanfaat bagi roh-roh leluhur dari mata rumah tersebut. selain itu kedua rumah adat ini memiliki sayap yang dapat dibuka pada siang hari, dan ditutup pada malam hari, fungsi sayap tersebut, yaitu untuk melindungi penghuninya dari ancaman roh-roh jahat pada malam hari.

6.      Arsitektur Rumah Adat
Cultural Geography menelaah aneka bentuk karya manusia di permukaan bumi sebagai hasil perilakunya (cipta, rasa, karsa) atas dasar kemampuan mengadaptasi lingkungan alam, manusia dan sosial disekitarnya (kewilayahan). Geografi budaya juga mengkaji tentang berbagai faktor geografis yang ikut menentukan terbentuknya kebudayaan disuatu daerah dan keanekaragaman kebudayaan disuatu daerah.  Desa Oirata terletak pada wilayah Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya, memiliki iklim tropis, daerah ini sebagian besar berbatu dan deselingi padang sabana dan pepohonan sehingga terkesan daerah ini kering dan tandus. Bentuk permukiman desa ini berpola menyebar, dimana rumah-rumah penduduk terletak berjauhan karena setiap rumah dikelilingi oleh tanaman pertanian (kebun). Oleh sebab itu, sangat berpengaruh terhadap bentuk arsitektur warga setempat. Bentuk rumah adat orang Oirata sebagian besar, bentuknya sama. 
Rumah adat orang Oirata (Leopo dan Lakhoun) sebagian besar bentuk dan arsitekturnya sama, karena merupakan teknik arsitektur yang berpedoman pada bentuk tradisional, yang telah diwariskan dari nenek moyang masyarakat setempat, sampai sekarang. Rumah adat Leopo dan Lakhoun merupakan sebuah mata rumah yang didirikan secara bersama-sama oleh anggota-anggota mata rumah yang bersangkutan secara bersama-sama. Setelah anggota mata rumah (tuan rumah = leowaya) berunding untuk mendirikan rumah adat, maka ditentukanlah bas rumah (sonleren) atau “tuan batas” / “tuan tali sifat” yang akan memimpin pembangunan rumah. Bas rumah adalah orang yang mempunyai keahlian untuk menghitung dan menentukan ukuran-ukuran bagian-bagian rumah. Tuan tali sifat biasanya dimiliki oleh masing-masing. Ia disebut “tuan tali sifat” sebab tali adalah alat ukur yang dipakai dalam pembangunan rumah adat, berupa bambu belah berukuran lebar ± 3 cm. Setelah pembangunan rumah adat selesai, biasanya tali sifat ditinggalkan di rumah tersebut, yaitu disisipkan di bubungan, memanjang. Tali sifat untuk sebuah rumah harus disimpan di rumah yang bersangkutan sebab ia dibuat untuk rumah itu, sehingga karenanya ia menyatu dengan rumah itu, merupakan bagian dari rumah tersebut. Ia tidak boleh dipakai untuk pembangunan rumah lain atau dikeluarkan dari rumah itu atau dipindahkan ke rumah lain, sebab bila hal ini terjadi maka akan membawa celaka pada rumah dan anggota rumah adat pemiliknya.
Setelah bas rumah ditentukan, bas lalu mulai melakukan perhitungan (kotika) mengikuti perhitungan bulan Cina. Untuk membangun rumah adat, salah satu hal yang terpenting adalah mendirikan tiang bermula (tut’ka) yaitu tiang pertama. Tiang ini terletak di sebelah timur (di antara kedua sayap). Menurut kotika, waktu yang baik untuk mengambil batang pohon koli untuk tiang pertama dan tiang-tiang lainnya adalah pada “bulan kecil” (bulan hilang, bulan gelap, bulan mati), karena kayu yang ditebang pada masa itu akan kuat, tidak mudah dimakan rayap. Tiang bermula didirikan pada waktu subuh antara pukul 05.00 – 05.30.

Rumah perempuan (Leopo) didirikan lebih dahulu, baru kemudian Lakhoun. Pintu (oomana) di sebelah utara yang menghadap Lakhoun dibangun sekitar satu minggu, namun ini tergantung dari tenaga kerja. Setelah kedua rumah selesai didirikan, dilakukan peresmian rumah. Dalam peresmian rumah ini, disiapkan sajian makanan. Dalam acara ini, tuan tali sifat menuturkan asal perkakas-perkakas pertukangan yang dipakai untuk mendirikan rumah (dahulu perkakas-perkakas itu ada yang terbuat dari tanah liat). Biasanya setelah pembangunan rumah, perkakas-perkakas rumah itu disimpan di Leiya (loteng).







Gambar 10: Sketsa denah Rumah adat Orang Oirata
Yang menarik dari kontruksi rumah adat orang Oirata,yaitu kontruksinya dilengkapi dengan “sayap” di bagian sisi rumah, yaitu sepanjang sisi timur dan utara dimana terdapat pintu dan jendela yang tidak berdaun atau tidak ada sesuatu yang menutupi ke dua pintu ini. Lembaran sayap-sayap ini dibuat dari anyaman daun koli, dijahit pada bambu yang menyambung dari atap. Seperti sayap unggas, sayap-sayap rumah ini bisa menutup dan membuka. Sebagai engselnya adalah ikatan pada bambu yang menyambungnya pada ujung atap. Lembaran sayap-sayap ini pada siang hari ada pada posisi horizontal (membuka), disanggah oleh tonggak-tonggak kayu.






 





Gambar 11: Sayap rumah Adat
Sumber : Hasil Penelitian 2012

Dan pada malam hari berda pada posisi vertikal (menutup) setelah kayu-kayu penyanggahnya dilepaskan. Sayap-sayap ini juga biasa disebut dengan oomana (pintu) sebab berfungsi sebagai pintu yang dibuka pada siang hari dan ditutup pada malam hari. oleh sebab itu, rumah adat orang Oirata, berbeda dengan rumah adat pada desa-desa lain ataupun pada daerah-daerah lain, yang hanya menggunakan desain serta bahan-bahan yang sederhana, yang di ambil dari Pohon Koli (lontar) dan bambu. Alasan dari para leluhur menggunakan bahan-bahan sederhana ini karena, yang pertama, pada jaman dahulu masyarakat Desa Oirata belum mengenal bahan semen dan lain-lain, sedangkan yang ke dua, mereka menggunakan bahan-bahan yang sederhana, karena bahan-bahan tersebut sangat cocok dengan kondisi iklim yang ada di Pulau Kisar. Jadi, rumah Adat apapun bentuknya, dan apapun etnisnya, merupakan bagian dari sebuah budaya peninggalan para leluhur kita yang harus dilestarikan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan